Jumat, 24 Januari 2014

Surat Buat Zahra-Cerpen



“kaulah bunga hidupku... Mewangi di jiwaku... Menghiasi hariku...Tetaplah kau bersamaku... kau tlah telah bangunkan aku dari lelapnya tidurku... kau semangati ragaku... kan kujadikan kau pujaanku... tetaplah kau bersamaku, dampingi arah alangkahku, jangan pernah pergi dariku... yakinkan niat hidupku dan sampaikanlah anganku, cinta sejati yang abadi... selamanya.”     
Pemuda itu terus bernyanyi, tak peduli ia akan mendapat uang atau tidak dari nyanyiannya itu, tak peduli ia mendapat gunjingan, cacian, bahkan ada pula yang menutup telinga, ia terus bernyanyi dengan gitar tua pemberian pamannya sebelum meninggal.  Selain melepas segala gundah di hati, ia juga berupaya menguatkan hatinya untuk tetap bertahan dari seleksi alam ini, sampai akhirnya tanda-tanda kehidupan segera jatuh temponya, ia berupaya untuk tetap bertahan. Kebahagiaan telah terampas dari hidupnya semenjak sembilan tahun yang lalu. Akibat bencana alam yang tidak diketahui pasti kapan datangnya, ia hidup tak bersaudara dan tak berorang tua lagi. Ia yatim piatu dan hidup sebatang kara.
Zuhri, ia memperkenalkan dirinya kepada orang-orang dengan nama itu. Dia itu sangat cepat bergaul dengan orang-orang yang baru dikenalnya.  Hidup tak pernah menetap, tapi orang selalu mengingat dirinya yang sangat baik hati, santun, rendah hati, dan dermawan meski tak bermateri. Setiap daerah yang baru di datanginya, seolah-olah ia sudah tau situasi dan kondisi daerah itu. Sehingga dengan cepat ia bisa bergabung bersama warga dengan mudahnya. Dan setelah merasa tinggal sangat lama di suatu daerah, ia pasti pergi begitu saja, tanpa ada kabar, tanpa pamit. Sehingga warga selalu merasa terkecoh dan merasa sangat kehilangan.
Mendadak, semenjak ia tak mempunyai harta dan saudara, telah tertanam pada dirinya jiwa pengelana sejati. Ia baru sadar, kalau dulu ketika ia masih berumur sepuluh tahun, ia mempunyai sahabat yang begitu dekat dengannya. Namun, karena ayah dari sahabat dekatnya itu pindah ke ibukota Jakarta, maka ia tak bisa melakukan apa-apa. Apalagi si sahabat tidak mengabari kepergiannya waktu itu. Mungkin itu bisa membuatnya mendadak asma dan pastinya dada terasa sakit.
Tergambar dari pikirannya yang mulai melayang, mungkin setelah mendapat banyak pengalamannya dari daerah-daerah yang dikunjunginya. Setelah ia merasakan pahitnya dunia walau tanpa empedu, setelah ia merasakan manisnya dunia walau tanpa gula, setelah ia merasakan asam walau tanpa garam, ia bertekad untuk mencari sahabatnya itu. Karena, ia sudah menganggap bahwa sahabatnya itu sudah seperti saudaranya sendiri. Karena dulunya antara keluarganya dengan keluarga sahabatnya itu selalu terdapat kecocokan yang sangat sepadan.
Zuhri sudah menaiki kapal laut, bermodal gitar tua dan sedikit uang dari hasil pengabdian daerah yang dikunjunginya, ia mulai meyakinkan niatnya yang sangat konyol itu. Pastinya ia seperti mencari sehelai rambut ditumpukan tepung roti yang hanya akan mengotori kehidupannya yang semakin tidak teratur. Namun, bukan lelaki namanya kalau harus bertekuk lutut dengan nasib. Keputusasaan dibuangnya jauh-jauh dari kamus hidupnya. Dalam hatinya yang bergelora yang ada hanya kalimat “maju terus untuk mendapatkan kemenangan, atau mati sebagai pahlawan.” Ia pun memandang jauh kedepan, pastinya akan banyak yang menghalangi niatnya itu. Tapi, keputusan telah terjalin sejak lama di benaknya. Maka sedikitpun ia takkan pernah menyerah.
Kepenatan menjamahnya, ia terduduk layu dan memeluk erat gitar kesayangannya. Perlahan ia menutup matanya, dan berdo’a dalam hati. “ya Tuhan, aku memang bukan hamba terbaikmu, tapi izinkanlah aku memohon kepadamu, agar niatku ini berjalan dengan lancar. Kalau niatku ini sudah tercapai, mudah-mudahan dengan segala keiklasan hati, aku akan menuruti segala apa yang engkau firmankan. Mudah-mudahan kedepan aku menjadi hamba yang taat bagimu, dan mudah-muadahn engkau mendengarkan doaku hambamu yang tak seberapa ini. Amin!”
Seiring berakhirnya doa yang dihaturkan dalam hatinya. Maka ia pun terlelap bersama semilirnya angin laut yang menerpa di sekujur tubuhnya.
****
“pak... pak... bangun! Sudah sampai nih. Bapak nggak mau balik ke lampung lagi kan?” petugas kebersihan kapal mengoyang-goyang badan Zuhri.
“hah? Sudah sampai ya? Di mana ini?” suaranya berat, mungkin karena lelahnya. Matanya masih merah, sesekali berkedip menahan perihnya udara hiruk pikuk ibu kota.
“tanjung priok pak... jakarta. Bapak nggak turun.”
“oh ya, ni juga dah mau beranjak.” Zuhri berdiri dan menegakkan gitarnya.
“periksa kembali barang-barang anda pak, mana tau ada yang ketinggalan.”
“oh... hehe, sudah kok. Nggak ada lagi yang ketinggalan.” Jelas saja, harta satu-satunya yang berharga itu Cuma gitar tuanya itu.
“hati-hati ya pak...” petugas itu tersenyum pahit kepadanya. Mungkin karena ia memperingatkan kepada Zuhri, bahwa kehidupan kedepan di ibukota negara itu sangat berat.
“iya pak... terima kasih banyak atas perhatian bapak. Doakan saya ya pak...” wajahnya yang ramah membalas.
“iya, sama-sama, karena saya pernah merasakan pahitnya hidup ini maka saya bilang hati-hati. Mungkin kehidupan saya tidak lebih beruntung daripada anda nantinya. Selamat berjuang!”
Zuhri membalas dengan anggukan kepala dan dengan senyumnya yang menawan. Pergilah ia pada jalan menuju dermaga. Dengan penuh semangat nan menggelora ia berjalan santai seolah-olah ia sudah pernah mengunjungi kota Jakarta. Ia menganggap, apalah yang bisa dipandang dari seorang gembel seperti dirinya kalau ada orang yang ingin berbuat tidak baik kepadanya. Yang ada hanya kerugian saja.
                Kedatangannya itu di sambut dengan guyonan perutnya yang menyentil agar segera mengisi ulang energi yang ada dalam tubuhnya. Ia pun merogoh saku celananya, didapatinya uang kertas 10.000. ia mencoba merogoh lagi. Tak ada didapatinya uang sesen pun, ia baru sadar bahwa ia telah kehilangan dompet lusuhnya yang berisi uang cukup makan dua mingguan itu telah raib dari saku celananya. Rupanya, sakunya itu sudah digeledah lebih dulu oleh orang lain. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala dan menanggapinya dengan senyuman. Ia menganggap bahwa ini salam perkenalan dari daerah baru yang dikunjunginya.
                Ia menghela nafas dengan penuh ketabahan. Perutnya semakin bersorak-sorak ketika matanya terfokus pada rumah makan murah meriah di sudut di dekat jalan. Maka bersegeralah ia menuju kesana. Lima meter melangkah, ia tertahan oleh seorang pengemis yang meminta-minta kepadanya. Refleks ia merangkul pengemis itu seperti ia sudah kenal sejak lama dengannya.
“harga nasi bungkus paling murah di sini berapa saudaraku?”
“paling murah 5000 perak mas, itu pun Cuma telur lauknya. Kenapa emangnya mas?” pengemis kebingungan.
“keadaan kita sama buruknya, tapi saya masih ada sisa uang 10.000. bisalah untuk makan kita berdua. Bapak pasti belum makan kan?”
“i... iya, ja...di”
“ya, kita makan sama-sama. Kita beli dulu nasinya. Gi mana pak?”
“oh, yaudah... ayolah kalau begitu.” Si pengemis matanya berbinar melangkah penuh semangat. Zuhri pun hanya bisa tersenyum melihatnya.
                Pergilah mereka ke rumah makan murah meriah itu. Zuhri menyamaratakan semua daerah yang pernah dikunjunginya. Tidak terikat oleh apa pun melangkah bebas sesuka hatinya. Hanya peraturan setempat saja yang perlu diperhatikan olehnya.
 Sampai di rumah makan, Zuhri langsung memesan dua bungkus nasi yang terjangkau dengan hanya uang 10.000. Kemudian keluar lagi membimbing pengemis ke tempat yang memungkinkan untuk menyelesaikan tugas suci itu. Makan bersama pengemis Jakarta.
“bapak sudah lama di sini pak?” tanya si pengemis sembari membuka bungkusan nasi
“baru tadi sampai di sini, kalau nggak kecopetan pasti kita makan enak.” Jawabnya Zuhri enteng.
“lho, bapak kecopetan tadi? Kok nggak di kejar?”
“percuma, kecopetannya ketika saya tidur terlelap di kapal. Silakan...”
“waduh... saya turut prihatin. Tapi, kayaknya mas ini kok sudah seperti tinggal lama di sini ya.”
“ah, perasaan bapak saja itu. Yang penting sekarang, nikmati dulu makanan ini. Jujur, saya sangat lapar pak.” Zuhri melahap nasi telur penuh nafsu.
“iya... hehehe.” Si pengemis juga tak kalah hebat makannya.
Dalam waktu sepuluh menit, segala sesuatu yang berada pada bungkusan nasi, raib tak bersisa masuk kedalam perut yang sudah lama menuntut. Nikmatnya tak tertahankan saat tegukan air membanjiri kerongkongan yang telah lama kemarau menjadi dingin dan segar seketika. Dan lebih nikmat acara makan itu pastinya sangat terasa ketika sendawa tiba-tiba berbunyi mengakhiri semua sesi upacara makan.
“akhirnya... bisa makan juga hari ini.” Si pengemis bersyukur
“iya... saya juga ikut senang. Perut saya tak berbunyi lagi. Hehehe.” Canda Zuhri.
“kalau boleh tau, mas ke sini mau nagapai ya mas.”
“mau nyari seorang sahabat lama.”
“mas tau alamatnya di mana? Terus, maskan dah nggak punya uang sekarang mau cari pake apa?”
“alamatnya nggak tau sih. Masalah nggak ada uang, kan ada ini...” Zuhri memamerkan gitar tuanya.
“apa bisa? Selama pencarian, bapak mau tinggal di mana pak kalau nggak ada uang?” tanya pengemis lagi.
“saya ikut bapak saja ya. Tak usah bapak bingung, saya kan laki-laki, bisa tidur di mana saja saya mau.”
“oh, ya sudah. Tapi mas pasti pahamlah gimana pengemiskan tinggalnya di mana?”
“hehe, pak. Saya juga anak jalanan kok. Sudah biasa saya hidup dalam kesusahan dan berada tepat digaris kemiskinan.
“tapi Jakarta itu luas lo mas, apa mas yakin bisa mendapatkan sahabat mas itu?”
“saya yakin pak, suatu saat nanti saya pasti dipertemukan dengan sahabat saya itu dengan gitar ini.”
“oh, ya sudah kalau begitu. Mari kita ke kerumah saya mas, mungkin anada butuh istirahat.
“oh ya, mari...”
                Kedatangan Zuhri membuat kota Jakarta bertambah satu gembel lagi. Si pengemis mulai banyak cerita mengenai situasi dan kondisi kota. Hingga pada akhirnya, sampailah mereka di perumahan kumuh, tempat si pengemis berteduh. Saatnya Zuhri harus menyimpan energi untuk kembali berkelana dan memulai kehidupan barunya yang penuh tantangan dan rintangan.
****
                Sang surya mulai mengintip di sudut timur Jakarta, perlahan Zuhri membuka mata dan berdiri tegak menghirup udara segar, serta mengumbar senyum pertamanya mengawali hari yang akan sulit untuk di jalani. Namun tekad sudah tertanam di dalam hati, Zuhri akan terus berjuang untuk mencari teman lamanya itu. Zahra.
                Zuhri mengambil gitar tuanya, ia sudah siap untuk berpetualang di hutan rimba yang penuh dengan binatang-binatang buas. Zuhri adalah orang pertama yang bangun di perumahan kumuh itu, bahkan si pengemis masih terlelap tidur dibuai oleh mimpi-mimpi indahnya. Zuhri memeriksa kembali gitar ketuanya apakah masih pas pengaturannya. Kemudian ia menyanyikan kembali lagu ciptaannya yang tak pernah  ia merasa lelah untuk mendengung-dengungkannya. Lagu itu adalah senjata pamungkas untuk mencari  Zahra yang telah lama meninggalkannya. Lagu ciptaan itu dulunya khusus untuk Zahra, mereka berdua sering menyanyikannya kala bermain bersama. Karena harapan satu-satunya  ada pada Zahra yang mengenalnya terlalu dalam, melebihi kedekatan dari keluarganya sekalipun. Ia sangat berharap, mudah-mudahan setelah bertemu dengan Zahra hidupnya bisa berubah dari yang sekarang ini.
                Zuhri bernyanyi dari mulai rumah makan kerumah makan, ke warung-warung kopi, ke pangkalan ojek, ke tempat-tempat orang banyak yang nongkrong, sampai ke bus-bus kopaja. Dengan modal nekad, walau sering diusir, ia tetap tak patah semangat mencari tempat yang bisa disinggahi untuk mengamen. Sekaligus bermodal lagu ciptaan itu ia sangat berharap, di tempat-tempat yang ia singgahi ada Zahra yang mendengarkan dan menyapanya. Tapi sejauh ini usahanya masih belum  membuahkan hasil.
                Tiba-tiba Zuhri terperangah tak percaya ketika ia melewati sebuah kaca rumah makan dan mendapati wajahnya sudah cukup jauh berbeda.
“ya ampun... sudah terlalu parahkah penampilanku? Wow, sudah brewok rupanya aku. Kumis dan jenggotku sudah sangat tebal. Kalau aku sudah jauh berbeda dari yang dulu, bagaimana Zahra bisa mengenalku? Waduh, Zahra sekarang, bagaimana pula wajahnya sekarang. Aduh... gawat ni kalau gini ceritanya.”
Zuhri kembali meneruskan petualangannya. Ia masih tetap meyakinkan diri, tak apalah wajah sudah demikian berubah, tapi lagu ciptaanya itu tentunya masih bisa menjadi radar utama bagi Zahra, bahwa Zuhri mencarinya.
                Merasa lelah, Zuhri duduk di bawah pohon rindang di sebuah taman. Ia mengeluarkan kantongan dari sakunya tempat hasil ngamennya hari ini. Pendapatan ngamennya hari ini cukup memuaskan. Bisa dapat empat buah nasi bungkus dengan lauk yang lezat cita rasanya. Ia langsung memasukkan kembali kantongan itu ke saku celana depannya, dan berniat ingin membeli dua bungkus nasi untuk makan bersama lagi dengan  si pengemis.
****
“pak, kira-kira bapak bisa pangkas rambut?”
“bisa sih mas, tapi sedikit...”
“yaudalah... pangkas ja rambut saya ini. Saya yakin bapak pasti bisa. Saya percaya bapak...” Zuhri menyerahkan gunting pangkas yang baru didapatnya di tong sampah sebuah salon kepada si pengemis.
“tapi kalau pangakasan saya nanti hasilnya jelek, jangan salahkan saya ya?”
“ya... saya tidak akan marah, saya akan terima apa adanya. Hehe...”
                Si pengemis mulai memangkas rambut Zuhri dengan sangat hati-hati, takut kalau-kalau hasil karyanya jelek dan menghilangkan separuh ketampanan Zuhri. Ia sudah mulai yakin ketika separuh rambutnya Zuhri mulai nampak menawan dari hasil guntingan yang cekatan. Akhirnya, si pengemis menyelesaikan tugas sucinya dengan sempurna.
“busyet...! kalau di tukang-tukang pangkas, ini sudah bayar 12.000-an nih. Ternyata bapak ni berbakat juga ya...” Zuhri takjub dengan hasil pangkasan si pengemis.
“heleh... mulai nih, umbang-umbangnya mas terlalu tinggi nih...” si pengemis merendah.
“ni jujur lo bang... nanti kalau kita punya modal, buka pangkas rambut ja di sekitar sini ya bang. Biar hidup kita jadi teratur. Hehe.”
“amin...!” si pengemis manggut-manggut.
“nah sekarang tinggal cukur jenggot dan kumis. Setelah ini, pasti aku tampak lima tahun lebih muda nih.” Zuhri pun mencukur kumis dan jenggotnya yang sangat tebal. Lima menit kemudian, urusan cukur mencukur usai.
Zuhri ingin kembali melanjutkan petualangannya mencari zahra.
“pak, sepertinya saya harus kembali nagmen nih... untung-untung selain dapat uang, bisa ketemu ma teman lama saya. Doain ya pak...”
“iya... hati-hati... sepertinya saya juga mau ngemis lagi nih, sebentar lagi.”
“yaudah, saya duluan ya pak...”
“ya...”
                Zuhri kembali bersemangat. Dengan modal gitar tua dan lagu ciptaannya sendiri, hari ini pasti ia akan menemukan Zahra sahabat lamanya itu.
****
                Mungkin belum saatnya Zuhri dipertemukan dengan sahabat lamanya itu. Sudah hampir dua minggu ini usahanya sia-sia belaka. Belum saatnya, atau tidak dipertemukan lagi untuk selama-lamanya. Sampai tiba saat yang tak diduga-duga, kesehatan Zuhri mulai terganggu, padahal selama ini ia tidak pernah terserang penyakit. Kondisinya aman-aman saja selama ini. Tapi hari ini, mukanya mulai pucat, matanya sayu, badannya panas. Apa dua minggu bukanlah waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan cuaca ibukota yang begtu kacau balau ini? Kendatipun demikian, Zuhri memegang erat gitar tuanya, dan mencoba untuk berdiri tegak, serta ingin meringankan langkahnya untuk kembali mencari sahabat semata wayangnya itu.
“mas, mau kemana mas...? istirahat saja di sini. Kondisi abang nggak memungkinkan untuk nagmen bang. Lagian uang ngamen abangkan masih cukup buat makan kita hari ini. Atau aku belikan obat saja ya?” saran si pengemis.
“nggak usah repot-repot pak... kalaupun saya nggak bisa nagmen, mungkin saat ini saya lagi butuh suasana lain dari sudut kota ini. Saya ingin menghirup udara segar di luar di taman dekat-dekat sini saja kok.” Zuhri mencoba berjalan perlahan.
“oh... taman dekat sini ya. Oh yaudah, masih bisa saya lihat-lihat mas nanti. Oia mas, pakai topi ini supaya mas tidak semakin merasa panas”
“terimakasih ya pak, saya pergi dulu ya pak...” Zuhri jalan sempoyongan.
“i...ya mas...” si pengemis tak bisa menahannya. Ia terpelongo melihat Zuhri yang sangat antusias dengan niat konyolnya mencari di mana teman lamanya itu.
                Sampailah Zuhri di taman, memang benar kata si pengemis, kondisinya tidak memungkinkan untuk mengamen. Kondisinya terlalu lemah untuk niat konyol yang membutuhkan energi super extra maksimal. Tapi apa mau di kata, Zuhri tetap keras kepala dengan niat konyolnya itu. Pada akhirnya, ia tidak bisa melakukan apa-apa, ia hanya bisa duduk terkulai di bawah pohon yang rindang menikmati hasil pandangannya di taman. Seperti anak-anak yang sibuk dengan buku-buku gambar dengan pensil warnanya, kucing belang yang lagi di kejar anjing karena dendam lama kembali membara, ibu-ibu yang sibuk mengejar anaknya yang tak mau makan, anak-anak bermain layang-layang. Dan yang lainnya.
                Kondisi tubuhnya semakin memburuk, tubuhnyanya semakin panas, matanya mulai menatap redup. Zuhri membuka topi pemberian si pengemis dan mengipas-ngipaskannya ke sekujur tubuhnya. Berharap panas badannya bisa berkurang. Namun malangnya, energi pada tubuhnya semakin menipis, hingga akhirnya ia terlelap dalam tangan memegang topi yang menganga, dan memeluk gitar tua diiringi dengan hembusan semilir angin nan syahdu, menutupi suasana tragis yang dialaminya.
****
                Di balik pohon yang diteduhi oleh zuhri, bersandar seorang perempuan cantik sedang membaca buku bersama teman baiknya.
“Zahra, bosen nih duduk di sini-sini aja. Liat tempat lainnya yuk? Cari suasana baru...” kata temannya membujuk.
“ih loe ini... baru aja kita di sini. Nanggung ni...” balas perempuan cantik itu.
“yaudah, kutinggal sendiri di sini ya? Kalau ada apa-apa, gue nggak ikut campur.”
“e..e.. iya, iya. Gue ikut...! ah... payah loe!” karena tergesa-gesa, mereka berdua tersandung oleh kakinya Zuhri. Sehingga Zuhri terbangun.
“aduh...! maaf ya mas... nggak sengaja. Ni uang sumbangannya.” Zahra memasukkan uang ke topinya yang menganga.
                Zahra pun berlalu begitu saja. Sementara Zuhri, malas-malas membuka matanya dan ingin kembali melanjutkan niatnya mencari teman lamanya. Tapi sebelumnya ia sempat terperangah dengan topi yang penuh dengan uang. Ternyata selama ia tidur, banyak orang menyisihkan uang saku dan memasukkannya ke dalam topinya yang menganga.
“terimakasih Tuhan... ya, setidaknya aku tidak capek-capek mengamen hari ini.” Senyumnya mengembang sembari memasukkan uang ke saku celananya.
Zuhri mengambil gitar tuanya, sesaat matanya tersorot pada buku-buku dan pensil warna yang ditinggalkan oleh tuannya. Ia pun melangkah ke arah buku tersebut dan mengambilnya. Sesaat ia mulai berpikir. Buku dan pensil warna itu bisa digunakan buat apa ya? Demi mewujudkan ide cemerlang, ia sampai memejamkan mata sampai keningnya pun mengerut.
                Setelah lama berpikir, akhirnya ia tak juga mendapatkan ide cemerlang. Yah, mungkin karena kondisi badan yang tak memungkinkan, ia tak bisa berpikir sehat.
“apa ya... kutuliskan uneg-unegku sajalah selama aku mencari Zahra di kota ini. Mungkin agak bisa mengobati kegundahanku selama ini.” Zuhri mulai mengambil pensil warna, dan menuliskan uneg-unegnya di buku tak bertuan itu.
Salam sapa buat sahabatku Zahra.
                Zahra... apa kabar? masihkah Zahra ingat dengan sahabat lamamu ini? Aku adalah Zuhri. Sahabat waktu kecilmu. Masih ingatkah kamu Zahra? Ah, mungkin Zahra sudah lupa denganku. Tapi tak mengapa jika Zahra melupakanku, Aku nggak kan marah kok. Sedikit pun tidak.
                Zahra, sudah hampir sepuluh tahun kita tak bertatap muka, bagaimana wajahmu sekarang? Pasti makin cantik. Tahukah kamu zahra? Sembilan tahun berlalu, semua telah banyak berubah. aku sudah miskin lahir batin, orang tua dan saudara-saudaraku meninggal akibat bencana alam. Harta benda yang diharapkan untuk masa depan raib tak tersisa. Aku tak punya apa-apa lagi Zahra. Jangan harap ketika kamu datang ke Medan bisa jalan-jalan lagi ke pemandian air hangat si debuk, naik kuda keliling berastagi berkali-kali, atau hanya sekedar cuci kaki di air tawar danau Toba. Takkan bisa kamu harapkan lagi Zahra.
                Zahra... yang pasti kamu akan terkaget-kaget bila bertemu denganku. Karena aku jelas sudah sangat berbeda. Zahra tidak akan pernah melihat rambutku tersisir rapi lagi, berbaju rapi dan memakai farfum termahal di dunia yang harumnya membuat orang di mabuk kepayang. Yang ada hanya Zuhri gembel dengan pakaian yang lusuh dan berbau busuk karena tak pernah diganti, dengan gitar tua yang setia menemani. Atau mungkin Zahra akan lari terbirit-birit karena melihat sosok yang mengerikan dan menjijikkan sepertiku.
                Zahra... masihkah Zahra mau menerimaku dengan tangan terbuka sebagai sahabatmu seperti dulu, Walau aku tak punya apa-apa lagi di dunia ini? Masihkah kau mau menerimaku dengan perbedaan taraf hidup yang menghukumku sembilan tahun belakangan ini? Masihkah kau mau menerimaku Zahra...
                Zahra... mungkin aku terlalu banyak berharap. Kedatanganku yang bermodal nekat tanpa harus memikirkan banyak akibat buruk bagiku di kota ini untuk mencari dirimu, yang ternyata tak  sedikit pun aku mendapatkan jejakmu. Mungkin Tuhan tidak akan pernah lagi mempertemukan kita. Maka sebelum nyawa ini direnggut olehNya, aku ingin surat ini jadi saksi atas persahabatan kita yang begitu dekatnya. Aku harap surat ini bisa mengabadikan betapa besarnya akan arti dirimu bagiku.
                Zahra... sepertinya aku sudah ngelantur. Pada akhirnya, di penghujung suratku ini hany bisa kuutarakan, bahwa sebenarnya aku telah lama memendam rasa kepadamu. Maka aku sangat kecewa ketika mendadak engkau pergi tanpa ada sedikitpun mengabariku.
                Aku tak tau entah kemana surat ini akan kulayangkan. Selebihnya, biarlah Tuhan yang mengatur segalanya. Aku sebagai hambanya hanya bisa pasrah dengan semua ini.
Salam hangat dari sahabatmu...Zuhri.
                Zuhri merobek dua kertas dari buku itu, kemudian melipatnya, dan kertas itu terselip manis di genggaman tangannya. Sepertinya ia tidak akan mengamen hari ini, karena rezeki sudah datang sendiri ketika ia tidur pulas di bawah pohon tadi.  Ia mulai beranjak untuk pergi kerumah si pengemis mengakhiri pencariannya. Entah kenapa, sangat sulit ia meringankan langkahnya, kakinya terasa sangat berat. Mungkin kondisi tubuhnya semakin parah, dengan langkah gontai ia tetap bersikeras memaksakan diri untuk pulang ke rumah si pengemis.
                Gitar tua semakin erat digenggaman tangan kanannya, surat yang baru ia tulis hampir saja terjatuh. Untungnya ia lekas sadar, hingga surat itu tak terjatuh. Ia terus melangkah dalam keadaan yang semakin memprihatinkan. Langkahnya seperti di bebani berton-ton pemberat. Matanya memandang nanar. Hingga akhirnya ia ingin menyeberangi jalan menuju perumahan kumuh, sebuah mobil sedan silver melintas. Nyatanya, tubuh Zuhri sedikit pun tidak tersentuh oleh sedan tersebut. Zuhri sudah jatuh terkapar di jalan dalam keadaan yang cukup mengenaskan, seolah-olah sedan itu telah menabraknya. Gitar tua serta merta terlepas dari genggaman, namun surat buat Zahra masih setia di genggaman.
“aduh... astaghfirullah! Lihat kecerobohnmu ini. Makanya, nyupir itu jangan sambil baca buku. Kayak gini kan jadinya?!”
“aduh... yaudah, ayo kita bawa ke rumah sakit terdekat. Sebelum terlambat!!!”
                Dua gadis yang mengendarai sedan itu mencoba meminta tolong kepada orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian perkara agar membopong Zuhri ke dalam sedan mereka.  Kemudian sedan itu pun tancap gas mencari rumah sakit terdekat.
                Sedang si pengemis merasakan kegelisahan yang teramat dahsyat. Karena sebelum petang, biasanya Zuhri sudah berada bersamanya. Kini si pengemis merasakan betapa sunyinya malam ini tanpa guyonan jenaka dari Zuhri.
                Dalam keadaan kritis ketika semua sedang sibuk membawanya ke ruang UGD, pandangan matanya mulai memutih. Tak satu pun yang terlihat, maka perlahan matanya terpejam dan mulai mencoba berkomunikasi kepada yang mahakuasa.
“ya Tuhan... sampai sini sajakah perjalanan hidupku? Apakah engkau tidak lagi memberiku kesempatan untuk memperbaiki hidupku? Apakah aku tak boleh lagi bertemu dengan Zahra. Aku mohon padaMu Tuhan... aku pernah berjanji padaMu Tuhan, jikalau aku engkau perkenankan bertemu kembali dengan Zahra, ke depan aku akan selalu mengikuti perintah yang engkau firmankan. apakah janji itu tidak begitu menarik? Atau memang engkau ingin mengakhiri hidupku sampai sini saja supaya aku mati dalam keadaan tidak taat padaMu?naku mohon padaMu Tuhan,berilah aku kesempatan sekali lagi...”
****
                Zuhri terbaring tak berdaya di kasur di sebuah ruangan yang serba berwarna putih. Di sana, ada dua gadis yang masih setia menunggu bagaimana perkembangan kondisinya. Satu di antaranya melihat sesuatu yang ganjil dari peristiwa yang melibatkan mereka dalam kecelakaan Zuhri.
“aneh... kok gak ada luka sama sekali di tubuhnya? Tapi tubuhnya sangat pucat, biasanya kalau pucat begini, pasti sudah ada tanda-tanda bahwa dia...”
“hus...! jangan gitu ah. Mungkin aja bukan luka luar yang bisa kita lihat. Luka dalam kali... tanda-tanda apa maksud loe?”
“ya... meninggal...”
“tapi dia masih hidup kok. Kalau dia meninggal, mampus deh kita...”
“kita...? loe aja kali. Kan loe yang ceroboh.”
“aduh... udah deh, jangan nakut-nakutin gitu. Mudah-mudahan dia masih bisa diselamatkan. Dan gue masih bisa mita maaf.
“gue keluar dulu yah... mau ke toilet bentar.”
“ya...”
                Tinggallah seorang gadis lagi yang mengawal keadaan Zuhri. Ketika gadis itu memalingkan wajahnya ke Zuhri. Kebetulan, matanya menyorot pada tangan kirinya yang masih dalam keadaan menggenggam dan melihat adanya kertas terselip digenggaman itu.
“apa itu?”
 Karena penasaran, gadis itu mencoba membuka genggaman itu. Walau terasa sangat sulit membuka genggaman itu, ia tetap mencoba bersikeras menghilangkan rasa penasarannya. Akhirnya, genggaman itu terbuka juga. Maka gadis itu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya.
                Tak menyangka, surat itu membuat hatinya mengiba dan pilu. Gadis itu membaca surat sembari melihat wajah Zuhri. Hingga terasa, bola mata nan indah itu menitiskan air mata membanjiri pipi mulusnya. Semakin larut ia dalam tragedi  yang tertulis di surat itu, semakin sesak pula dadanya, membuat tangisannya semakin deras. Apakah yang tertulis itu begitu sangat menyedihkan untuk dibaca, sehingga membuat mata berlinangan air mata? Atau gadis itu merasa sangatbersalah dengan perbuatannya, sehingga ia menangis sejadi-jadinya.
                Gadis itu semakin mengharu biru. Serta merta ia memeluk tubuh Zuhri yang tak berdaya itu. Ada apa gerangan, mengapa dia memeluk Zuhri sedemikian hebatnya. Perlahan, ia melepas pelukan itu dan masih dalam keadaan menangis ia pandangi wajah Zuhri yang cukup menawan. Air matanya kini membanjiri wajah Zuhri. Terdengarlah olehnya, Zuhri sedang mengerang. Sejenak itu sangat berarti bagi gadis itu. Perlahan-lahan Zuhri membuka mata, gadis itu semakin kegirangan dan menyapa.
“bang Zuhri....! bang Zuhri sudah siuman... alhamdulillah!” gadis itu kembali memeluk Zuhri.
“ka.. kamu siapa?” Zuhri heran.
“akulah yang selama ini abang cari bang...”
“hah? Apa aku masih dalam keadaan bermimpi?”
“tidak bang... abang nggak mimpi. Akulah yang selama ini abang cari... akulah Zahra. Masa abang ga kenal sama Zahra?”
“bagaimana mungkin aku bisa mengenalmu, kita telah lama berpisah...”
“bang... akulah Zahra...”
“benarkah itu... benarkah kamu adalah Zahra?”
Gadis itu mengangguk. Zuhri memandang ke langit-langit, ia berterimakasih kepada Tuhan dan bersyukur tak habis-habisnya, sembari memeluk penuh kasih apa yang selama ini ia cari. Zahra.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar