“kaulah bunga hidupku... Mewangi di jiwaku... Menghiasi
hariku...Tetaplah kau bersamaku... kau tlah telah bangunkan aku dari lelapnya
tidurku... kau semangati ragaku... kan kujadikan kau pujaanku... tetaplah kau
bersamaku, dampingi arah alangkahku, jangan pernah pergi dariku... yakinkan
niat hidupku dan sampaikanlah anganku, cinta sejati yang abadi... selamanya.”
Pemuda itu
terus bernyanyi, tak peduli ia akan mendapat uang atau tidak dari nyanyiannya
itu, tak peduli ia mendapat gunjingan, cacian, bahkan ada pula yang menutup
telinga, ia terus bernyanyi dengan gitar tua pemberian pamannya sebelum
meninggal. Selain melepas segala gundah
di hati, ia juga berupaya menguatkan hatinya untuk tetap bertahan dari seleksi
alam ini, sampai akhirnya tanda-tanda kehidupan segera jatuh temponya, ia
berupaya untuk tetap bertahan. Kebahagiaan telah terampas dari hidupnya
semenjak sembilan tahun yang lalu. Akibat bencana alam yang tidak diketahui
pasti kapan datangnya, ia hidup tak bersaudara dan tak berorang tua lagi. Ia
yatim piatu dan hidup sebatang kara.
Zuhri, ia
memperkenalkan dirinya kepada orang-orang dengan nama itu. Dia itu sangat cepat
bergaul dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Hidup tak pernah menetap, tapi orang selalu
mengingat dirinya yang sangat baik hati, santun, rendah hati, dan dermawan
meski tak bermateri. Setiap daerah yang baru di datanginya, seolah-olah ia
sudah tau situasi dan kondisi daerah itu. Sehingga dengan cepat ia bisa
bergabung bersama warga dengan mudahnya. Dan setelah merasa tinggal sangat lama
di suatu daerah, ia pasti pergi begitu saja, tanpa ada kabar, tanpa pamit.
Sehingga warga selalu merasa terkecoh dan merasa sangat kehilangan.
Mendadak,
semenjak ia tak mempunyai harta dan saudara, telah tertanam pada dirinya jiwa
pengelana sejati. Ia baru sadar, kalau dulu ketika ia masih berumur sepuluh
tahun, ia mempunyai sahabat yang begitu dekat dengannya. Namun, karena ayah
dari sahabat dekatnya itu pindah ke ibukota Jakarta, maka ia tak bisa melakukan
apa-apa. Apalagi si sahabat tidak mengabari kepergiannya waktu itu. Mungkin itu
bisa membuatnya mendadak asma dan pastinya dada terasa sakit.
Tergambar dari
pikirannya yang mulai melayang, mungkin setelah mendapat banyak pengalamannya dari
daerah-daerah yang dikunjunginya. Setelah ia merasakan pahitnya dunia walau
tanpa empedu, setelah ia merasakan manisnya dunia walau tanpa gula, setelah ia
merasakan asam walau tanpa garam, ia bertekad untuk mencari sahabatnya itu.
Karena, ia sudah menganggap bahwa sahabatnya itu sudah seperti saudaranya
sendiri. Karena dulunya antara keluarganya dengan keluarga sahabatnya itu
selalu terdapat kecocokan yang sangat sepadan.
Zuhri sudah
menaiki kapal laut, bermodal gitar tua dan sedikit uang dari hasil pengabdian
daerah yang dikunjunginya, ia mulai meyakinkan niatnya yang sangat konyol itu.
Pastinya ia seperti mencari sehelai rambut ditumpukan tepung roti yang hanya
akan mengotori kehidupannya yang semakin tidak teratur. Namun, bukan lelaki
namanya kalau harus bertekuk lutut dengan nasib. Keputusasaan dibuangnya
jauh-jauh dari kamus hidupnya. Dalam hatinya yang bergelora yang ada hanya
kalimat “maju terus untuk mendapatkan kemenangan, atau mati sebagai pahlawan.”
Ia pun memandang jauh kedepan, pastinya akan banyak yang menghalangi niatnya
itu. Tapi, keputusan telah terjalin sejak lama di benaknya. Maka sedikitpun ia
takkan pernah menyerah.
Kepenatan
menjamahnya, ia terduduk layu dan memeluk erat gitar kesayangannya. Perlahan ia
menutup matanya, dan berdo’a dalam hati. “ya Tuhan, aku memang bukan hamba
terbaikmu, tapi izinkanlah aku memohon kepadamu, agar niatku ini berjalan
dengan lancar. Kalau niatku ini sudah tercapai, mudah-mudahan dengan segala
keiklasan hati, aku akan menuruti segala apa yang engkau firmankan.
Mudah-mudahan kedepan aku menjadi hamba yang taat bagimu, dan mudah-muadahn
engkau mendengarkan doaku hambamu yang tak seberapa ini. Amin!”
Seiring berakhirnya doa yang
dihaturkan dalam hatinya. Maka ia pun terlelap bersama semilirnya angin laut
yang menerpa di sekujur tubuhnya.
****
“pak... pak... bangun! Sudah
sampai nih. Bapak nggak mau balik ke lampung lagi kan?” petugas kebersihan
kapal mengoyang-goyang badan Zuhri.
“hah? Sudah sampai ya? Di mana
ini?” suaranya berat, mungkin karena lelahnya. Matanya masih merah, sesekali
berkedip menahan perihnya udara hiruk pikuk ibu kota.
“tanjung priok pak... jakarta.
Bapak nggak turun.”
“oh ya, ni juga dah mau
beranjak.” Zuhri berdiri dan menegakkan gitarnya.
“periksa kembali barang-barang
anda pak, mana tau ada yang ketinggalan.”
“oh... hehe, sudah kok. Nggak ada
lagi yang ketinggalan.” Jelas saja, harta satu-satunya yang berharga itu Cuma
gitar tuanya itu.
“hati-hati ya pak...” petugas itu
tersenyum pahit kepadanya. Mungkin karena ia memperingatkan kepada Zuhri, bahwa
kehidupan kedepan di ibukota negara itu sangat berat.
“iya pak... terima kasih banyak
atas perhatian bapak. Doakan saya ya pak...” wajahnya yang ramah membalas.
“iya, sama-sama, karena saya
pernah merasakan pahitnya hidup ini maka saya bilang hati-hati. Mungkin
kehidupan saya tidak lebih beruntung daripada anda nantinya. Selamat berjuang!”
Zuhri membalas dengan anggukan
kepala dan dengan senyumnya yang menawan. Pergilah ia pada jalan menuju
dermaga. Dengan penuh semangat nan menggelora ia berjalan santai seolah-olah ia
sudah pernah mengunjungi kota Jakarta. Ia menganggap, apalah yang bisa
dipandang dari seorang gembel seperti dirinya kalau ada orang yang ingin
berbuat tidak baik kepadanya. Yang ada hanya kerugian saja.
Kedatangannya
itu di sambut dengan guyonan perutnya yang menyentil agar segera mengisi ulang
energi yang ada dalam tubuhnya. Ia pun merogoh saku celananya, didapatinya uang
kertas 10.000. ia mencoba merogoh lagi. Tak ada didapatinya uang sesen pun, ia
baru sadar bahwa ia telah kehilangan dompet lusuhnya yang berisi uang cukup
makan dua mingguan itu telah raib dari saku celananya. Rupanya, sakunya itu
sudah digeledah lebih dulu oleh orang lain. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala
dan menanggapinya dengan senyuman. Ia menganggap bahwa ini salam perkenalan
dari daerah baru yang dikunjunginya.
Ia
menghela nafas dengan penuh ketabahan. Perutnya semakin bersorak-sorak ketika
matanya terfokus pada rumah makan murah meriah di sudut di dekat jalan. Maka
bersegeralah ia menuju kesana. Lima meter melangkah, ia tertahan oleh seorang
pengemis yang meminta-minta kepadanya. Refleks ia merangkul pengemis itu
seperti ia sudah kenal sejak lama dengannya.
“harga nasi bungkus paling murah
di sini berapa saudaraku?”
“paling murah 5000 perak mas, itu
pun Cuma telur lauknya. Kenapa emangnya mas?” pengemis kebingungan.
“keadaan kita sama buruknya, tapi
saya masih ada sisa uang 10.000. bisalah untuk makan kita berdua. Bapak pasti
belum makan kan?”
“i... iya, ja...di”
“ya, kita makan sama-sama. Kita
beli dulu nasinya. Gi mana pak?”
“oh, yaudah... ayolah kalau
begitu.” Si pengemis matanya berbinar melangkah penuh semangat. Zuhri pun hanya
bisa tersenyum melihatnya.
Pergilah
mereka ke rumah makan murah meriah itu. Zuhri menyamaratakan semua daerah yang
pernah dikunjunginya. Tidak terikat oleh apa pun melangkah bebas sesuka
hatinya. Hanya peraturan setempat saja yang perlu diperhatikan olehnya.
Sampai di rumah makan, Zuhri langsung memesan
dua bungkus nasi yang terjangkau dengan hanya uang 10.000. Kemudian keluar lagi
membimbing pengemis ke tempat yang memungkinkan untuk menyelesaikan tugas suci
itu. Makan bersama pengemis Jakarta.
“bapak sudah lama di sini pak?”
tanya si pengemis sembari membuka bungkusan nasi
“baru tadi sampai di sini, kalau
nggak kecopetan pasti kita makan enak.” Jawabnya Zuhri enteng.
“lho, bapak kecopetan tadi? Kok
nggak di kejar?”
“percuma, kecopetannya ketika
saya tidur terlelap di kapal. Silakan...”
“waduh... saya turut prihatin.
Tapi, kayaknya mas ini kok sudah seperti tinggal lama di sini ya.”
“ah, perasaan bapak saja itu.
Yang penting sekarang, nikmati dulu makanan ini. Jujur, saya sangat lapar pak.”
Zuhri melahap nasi telur penuh nafsu.
“iya... hehehe.” Si pengemis juga
tak kalah hebat makannya.
Dalam waktu sepuluh menit, segala
sesuatu yang berada pada bungkusan nasi, raib tak bersisa masuk kedalam perut
yang sudah lama menuntut. Nikmatnya tak tertahankan saat tegukan air membanjiri
kerongkongan yang telah lama kemarau menjadi dingin dan segar seketika. Dan
lebih nikmat acara makan itu pastinya sangat terasa ketika sendawa tiba-tiba
berbunyi mengakhiri semua sesi upacara makan.
“akhirnya... bisa makan juga hari
ini.” Si pengemis bersyukur
“iya... saya juga ikut senang.
Perut saya tak berbunyi lagi. Hehehe.” Canda Zuhri.
“kalau boleh tau, mas ke sini mau
nagapai ya mas.”
“mau nyari seorang sahabat lama.”
“mas tau alamatnya di mana?
Terus, maskan dah nggak punya uang sekarang mau cari pake apa?”
“alamatnya nggak tau sih. Masalah
nggak ada uang, kan ada ini...” Zuhri memamerkan gitar tuanya.
“apa bisa? Selama pencarian,
bapak mau tinggal di mana pak kalau nggak ada uang?” tanya pengemis lagi.
“saya ikut bapak saja ya. Tak
usah bapak bingung, saya kan laki-laki, bisa tidur di mana saja saya mau.”
“oh, ya sudah. Tapi mas pasti
pahamlah gimana pengemiskan tinggalnya di mana?”
“hehe, pak. Saya juga anak
jalanan kok. Sudah biasa saya hidup dalam kesusahan dan berada tepat digaris
kemiskinan.
“tapi Jakarta itu luas lo mas,
apa mas yakin bisa mendapatkan sahabat mas itu?”
“saya yakin pak, suatu saat nanti
saya pasti dipertemukan dengan sahabat saya itu dengan gitar ini.”
“oh, ya sudah kalau begitu. Mari
kita ke kerumah saya mas, mungkin anada butuh istirahat.
“oh ya, mari...”
Kedatangan
Zuhri membuat kota Jakarta bertambah satu gembel lagi. Si pengemis mulai banyak
cerita mengenai situasi dan kondisi kota. Hingga pada akhirnya, sampailah
mereka di perumahan kumuh, tempat si pengemis berteduh. Saatnya Zuhri harus
menyimpan energi untuk kembali berkelana dan memulai kehidupan barunya yang
penuh tantangan dan rintangan.
****
Sang
surya mulai mengintip di sudut timur Jakarta, perlahan Zuhri membuka mata dan
berdiri tegak menghirup udara segar, serta mengumbar senyum pertamanya
mengawali hari yang akan sulit untuk di jalani. Namun tekad sudah tertanam di
dalam hati, Zuhri akan terus berjuang untuk mencari teman lamanya itu. Zahra.
Zuhri
mengambil gitar tuanya, ia sudah siap untuk berpetualang di hutan rimba yang
penuh dengan binatang-binatang buas. Zuhri adalah orang pertama yang bangun di
perumahan kumuh itu, bahkan si pengemis masih terlelap tidur dibuai oleh
mimpi-mimpi indahnya. Zuhri memeriksa kembali gitar ketuanya apakah masih pas
pengaturannya. Kemudian ia menyanyikan kembali lagu ciptaannya yang tak
pernah ia merasa lelah untuk mendengung-dengungkannya.
Lagu itu adalah senjata pamungkas untuk mencari Zahra yang telah lama meninggalkannya. Lagu
ciptaan itu dulunya khusus untuk Zahra, mereka berdua sering menyanyikannya
kala bermain bersama. Karena harapan satu-satunya ada pada Zahra yang mengenalnya terlalu dalam,
melebihi kedekatan dari keluarganya sekalipun. Ia sangat berharap,
mudah-mudahan setelah bertemu dengan Zahra hidupnya bisa berubah dari yang
sekarang ini.
Zuhri
bernyanyi dari mulai rumah makan kerumah makan, ke warung-warung kopi, ke
pangkalan ojek, ke tempat-tempat orang banyak yang nongkrong, sampai ke bus-bus
kopaja. Dengan modal nekad, walau sering diusir, ia tetap tak patah semangat
mencari tempat yang bisa disinggahi untuk mengamen. Sekaligus bermodal lagu
ciptaan itu ia sangat berharap, di tempat-tempat yang ia singgahi ada Zahra
yang mendengarkan dan menyapanya. Tapi sejauh ini usahanya masih belum membuahkan hasil.
Tiba-tiba
Zuhri terperangah tak percaya ketika ia melewati sebuah kaca rumah makan dan
mendapati wajahnya sudah cukup jauh berbeda.
“ya ampun... sudah terlalu
parahkah penampilanku? Wow, sudah brewok rupanya aku. Kumis dan jenggotku sudah
sangat tebal. Kalau aku sudah jauh berbeda dari yang dulu, bagaimana Zahra bisa
mengenalku? Waduh, Zahra sekarang, bagaimana pula wajahnya sekarang. Aduh...
gawat ni kalau gini ceritanya.”
Zuhri kembali meneruskan
petualangannya. Ia masih tetap meyakinkan diri, tak apalah wajah sudah demikian
berubah, tapi lagu ciptaanya itu tentunya masih bisa menjadi radar utama bagi
Zahra, bahwa Zuhri mencarinya.
Merasa
lelah, Zuhri duduk di bawah pohon rindang di sebuah taman. Ia mengeluarkan
kantongan dari sakunya tempat hasil ngamennya hari ini. Pendapatan ngamennya
hari ini cukup memuaskan. Bisa dapat empat buah nasi bungkus dengan lauk yang
lezat cita rasanya. Ia langsung memasukkan kembali kantongan itu ke saku celana
depannya, dan berniat ingin membeli dua bungkus nasi untuk makan bersama lagi
dengan si pengemis.
****
“pak, kira-kira bapak bisa
pangkas rambut?”
“bisa sih mas, tapi sedikit...”
“yaudalah... pangkas ja rambut
saya ini. Saya yakin bapak pasti bisa. Saya percaya bapak...” Zuhri menyerahkan
gunting pangkas yang baru didapatnya di tong sampah sebuah salon kepada si
pengemis.
“tapi kalau pangakasan saya nanti
hasilnya jelek, jangan salahkan saya ya?”
“ya... saya tidak akan marah,
saya akan terima apa adanya. Hehe...”
Si
pengemis mulai memangkas rambut Zuhri dengan sangat hati-hati, takut
kalau-kalau hasil karyanya jelek dan menghilangkan separuh ketampanan Zuhri. Ia
sudah mulai yakin ketika separuh rambutnya Zuhri mulai nampak menawan dari hasil
guntingan yang cekatan. Akhirnya, si pengemis menyelesaikan tugas sucinya
dengan sempurna.
“busyet...! kalau di
tukang-tukang pangkas, ini sudah bayar 12.000-an nih. Ternyata bapak ni
berbakat juga ya...” Zuhri takjub dengan hasil pangkasan si pengemis.
“heleh... mulai nih,
umbang-umbangnya mas terlalu tinggi nih...” si pengemis merendah.
“ni jujur lo bang... nanti kalau
kita punya modal, buka pangkas rambut ja di sekitar sini ya bang. Biar hidup
kita jadi teratur. Hehe.”
“amin...!” si pengemis
manggut-manggut.
“nah sekarang tinggal cukur
jenggot dan kumis. Setelah ini, pasti aku tampak lima tahun lebih muda nih.”
Zuhri pun mencukur kumis dan jenggotnya yang sangat tebal. Lima menit kemudian,
urusan cukur mencukur usai.
Zuhri ingin kembali melanjutkan
petualangannya mencari zahra.
“pak, sepertinya saya harus
kembali nagmen nih... untung-untung selain dapat uang, bisa ketemu ma teman
lama saya. Doain ya pak...”
“iya... hati-hati... sepertinya
saya juga mau ngemis lagi nih, sebentar lagi.”
“yaudah, saya duluan ya pak...”
“ya...”
Zuhri
kembali bersemangat. Dengan modal gitar tua dan lagu ciptaannya sendiri, hari
ini pasti ia akan menemukan Zahra sahabat lamanya itu.
****
Mungkin
belum saatnya Zuhri dipertemukan dengan sahabat lamanya itu. Sudah hampir dua
minggu ini usahanya sia-sia belaka. Belum saatnya, atau tidak dipertemukan lagi
untuk selama-lamanya. Sampai tiba saat yang tak diduga-duga, kesehatan Zuhri
mulai terganggu, padahal selama ini ia tidak pernah terserang penyakit.
Kondisinya aman-aman saja selama ini. Tapi hari ini, mukanya mulai pucat,
matanya sayu, badannya panas. Apa dua minggu bukanlah waktu yang cukup untuk
beradaptasi dengan cuaca ibukota yang begtu kacau balau ini? Kendatipun
demikian, Zuhri memegang erat gitar tuanya, dan mencoba untuk berdiri tegak,
serta ingin meringankan langkahnya untuk kembali mencari sahabat semata
wayangnya itu.
“mas, mau kemana mas...?
istirahat saja di sini. Kondisi abang nggak memungkinkan untuk nagmen bang.
Lagian uang ngamen abangkan masih cukup buat makan kita hari ini. Atau aku
belikan obat saja ya?” saran si pengemis.
“nggak usah repot-repot pak...
kalaupun saya nggak bisa nagmen, mungkin saat ini saya lagi butuh suasana lain
dari sudut kota ini. Saya ingin menghirup udara segar di luar di taman
dekat-dekat sini saja kok.” Zuhri mencoba berjalan perlahan.
“oh... taman dekat sini ya. Oh
yaudah, masih bisa saya lihat-lihat mas nanti. Oia mas, pakai topi ini supaya
mas tidak semakin merasa panas”
“terimakasih ya pak, saya pergi
dulu ya pak...” Zuhri jalan sempoyongan.
“i...ya mas...” si pengemis tak
bisa menahannya. Ia terpelongo melihat Zuhri yang sangat antusias dengan niat
konyolnya mencari di mana teman lamanya itu.
Sampailah
Zuhri di taman, memang benar kata si pengemis, kondisinya tidak memungkinkan
untuk mengamen. Kondisinya terlalu lemah untuk niat konyol yang membutuhkan
energi super extra maksimal. Tapi apa mau di kata, Zuhri tetap keras kepala
dengan niat konyolnya itu. Pada akhirnya, ia tidak bisa melakukan apa-apa, ia
hanya bisa duduk terkulai di bawah pohon yang rindang menikmati hasil
pandangannya di taman. Seperti anak-anak yang sibuk dengan buku-buku gambar
dengan pensil warnanya, kucing belang yang lagi di kejar anjing karena dendam
lama kembali membara, ibu-ibu yang sibuk mengejar anaknya yang tak mau makan,
anak-anak bermain layang-layang. Dan yang lainnya.
Kondisi
tubuhnya semakin memburuk, tubuhnyanya semakin panas, matanya mulai menatap
redup. Zuhri membuka topi pemberian si pengemis dan mengipas-ngipaskannya ke
sekujur tubuhnya. Berharap panas badannya bisa berkurang. Namun malangnya,
energi pada tubuhnya semakin menipis, hingga akhirnya ia terlelap dalam tangan
memegang topi yang menganga, dan memeluk gitar tua diiringi dengan hembusan semilir
angin nan syahdu, menutupi suasana tragis yang dialaminya.
****
Di
balik pohon yang diteduhi oleh zuhri, bersandar seorang perempuan cantik sedang
membaca buku bersama teman baiknya.
“Zahra, bosen nih duduk di
sini-sini aja. Liat tempat lainnya yuk? Cari suasana baru...” kata temannya
membujuk.
“ih loe ini... baru aja kita di
sini. Nanggung ni...” balas perempuan cantik itu.
“yaudah, kutinggal sendiri di
sini ya? Kalau ada apa-apa, gue nggak ikut campur.”
“e..e.. iya, iya. Gue ikut...!
ah... payah loe!” karena tergesa-gesa, mereka berdua tersandung oleh kakinya
Zuhri. Sehingga Zuhri terbangun.
“aduh...! maaf ya mas... nggak
sengaja. Ni uang sumbangannya.” Zahra memasukkan uang ke topinya yang menganga.
Zahra
pun berlalu begitu saja. Sementara Zuhri, malas-malas membuka matanya dan ingin
kembali melanjutkan niatnya mencari teman lamanya. Tapi sebelumnya ia sempat
terperangah dengan topi yang penuh dengan uang. Ternyata selama ia tidur,
banyak orang menyisihkan uang saku dan memasukkannya ke dalam topinya yang
menganga.
“terimakasih Tuhan... ya,
setidaknya aku tidak capek-capek mengamen hari ini.” Senyumnya mengembang
sembari memasukkan uang ke saku celananya.
Zuhri mengambil gitar tuanya,
sesaat matanya tersorot pada buku-buku dan pensil warna yang ditinggalkan oleh
tuannya. Ia pun melangkah ke arah buku tersebut dan mengambilnya. Sesaat ia
mulai berpikir. Buku dan pensil warna itu bisa digunakan buat apa ya? Demi
mewujudkan ide cemerlang, ia sampai memejamkan mata sampai keningnya pun
mengerut.
Setelah
lama berpikir, akhirnya ia tak juga mendapatkan ide cemerlang. Yah, mungkin
karena kondisi badan yang tak memungkinkan, ia tak bisa berpikir sehat.
“apa ya... kutuliskan uneg-unegku
sajalah selama aku mencari Zahra di kota ini. Mungkin agak bisa mengobati
kegundahanku selama ini.” Zuhri mulai mengambil pensil warna, dan menuliskan
uneg-unegnya di buku tak bertuan itu.
Salam sapa buat sahabatku Zahra.
Zahra... apa
kabar? masihkah Zahra ingat dengan sahabat lamamu ini? Aku adalah Zuhri.
Sahabat waktu kecilmu. Masih ingatkah kamu Zahra? Ah, mungkin Zahra sudah lupa
denganku. Tapi tak mengapa jika Zahra melupakanku, Aku nggak kan marah kok.
Sedikit pun tidak.
Zahra, sudah
hampir sepuluh tahun kita tak bertatap muka, bagaimana wajahmu sekarang? Pasti
makin cantik. Tahukah kamu zahra? Sembilan tahun berlalu, semua telah banyak
berubah. aku sudah miskin lahir batin, orang tua dan saudara-saudaraku
meninggal akibat bencana alam. Harta benda yang diharapkan untuk masa depan
raib tak tersisa. Aku tak punya apa-apa lagi Zahra. Jangan harap ketika kamu
datang ke Medan bisa jalan-jalan lagi ke pemandian air hangat si debuk, naik
kuda keliling berastagi berkali-kali, atau hanya sekedar cuci kaki di air tawar
danau Toba. Takkan bisa kamu harapkan lagi Zahra.
Zahra... yang
pasti kamu akan terkaget-kaget bila bertemu denganku. Karena aku jelas sudah
sangat berbeda. Zahra tidak akan pernah melihat rambutku tersisir rapi lagi,
berbaju rapi dan memakai farfum termahal di dunia yang harumnya membuat orang
di mabuk kepayang. Yang ada hanya Zuhri gembel dengan pakaian yang lusuh dan
berbau busuk karena tak pernah diganti, dengan gitar tua yang setia menemani.
Atau mungkin Zahra akan lari terbirit-birit karena melihat sosok yang
mengerikan dan menjijikkan sepertiku.
Zahra... masihkah
Zahra mau menerimaku dengan tangan terbuka sebagai sahabatmu seperti dulu,
Walau aku tak punya apa-apa lagi di dunia ini? Masihkah kau mau menerimaku
dengan perbedaan taraf hidup yang menghukumku sembilan tahun belakangan ini?
Masihkah kau mau menerimaku Zahra...
Zahra... mungkin
aku terlalu banyak berharap. Kedatanganku yang bermodal nekat tanpa harus
memikirkan banyak akibat buruk bagiku di kota ini untuk mencari dirimu, yang
ternyata tak sedikit pun aku mendapatkan
jejakmu. Mungkin Tuhan tidak akan pernah lagi mempertemukan kita. Maka sebelum
nyawa ini direnggut olehNya, aku ingin surat ini jadi saksi atas persahabatan
kita yang begitu dekatnya. Aku harap surat ini bisa mengabadikan betapa
besarnya akan arti dirimu bagiku.
Zahra...
sepertinya aku sudah ngelantur. Pada akhirnya, di penghujung suratku ini hany
bisa kuutarakan, bahwa sebenarnya aku telah lama memendam rasa kepadamu. Maka
aku sangat kecewa ketika mendadak engkau pergi tanpa ada sedikitpun
mengabariku.
Aku tak tau entah
kemana surat ini akan kulayangkan. Selebihnya, biarlah Tuhan yang mengatur
segalanya. Aku sebagai hambanya hanya bisa pasrah dengan semua ini.
Salam hangat dari sahabatmu...Zuhri.
Zuhri
merobek dua kertas dari buku itu, kemudian melipatnya, dan kertas itu terselip
manis di genggaman tangannya. Sepertinya ia tidak akan mengamen hari ini,
karena rezeki sudah datang sendiri ketika ia tidur pulas di bawah pohon
tadi. Ia mulai beranjak untuk pergi
kerumah si pengemis mengakhiri pencariannya. Entah kenapa, sangat sulit ia
meringankan langkahnya, kakinya terasa sangat berat. Mungkin kondisi tubuhnya
semakin parah, dengan langkah gontai ia tetap bersikeras memaksakan diri untuk
pulang ke rumah si pengemis.
Gitar
tua semakin erat digenggaman tangan kanannya, surat yang baru ia tulis hampir
saja terjatuh. Untungnya ia lekas sadar, hingga surat itu tak terjatuh. Ia
terus melangkah dalam keadaan yang semakin memprihatinkan. Langkahnya seperti
di bebani berton-ton pemberat. Matanya memandang nanar. Hingga akhirnya ia
ingin menyeberangi jalan menuju perumahan kumuh, sebuah mobil sedan silver
melintas. Nyatanya, tubuh Zuhri sedikit pun tidak tersentuh oleh sedan
tersebut. Zuhri sudah jatuh terkapar di jalan dalam keadaan yang cukup
mengenaskan, seolah-olah sedan itu telah menabraknya. Gitar tua serta merta
terlepas dari genggaman, namun surat buat Zahra masih setia di genggaman.
“aduh... astaghfirullah! Lihat
kecerobohnmu ini. Makanya, nyupir itu jangan sambil baca buku. Kayak gini kan
jadinya?!”
“aduh... yaudah, ayo kita bawa ke
rumah sakit terdekat. Sebelum terlambat!!!”
Dua
gadis yang mengendarai sedan itu mencoba meminta tolong kepada orang-orang yang
berada di sekitar tempat kejadian perkara agar membopong Zuhri ke dalam sedan
mereka. Kemudian sedan itu pun tancap
gas mencari rumah sakit terdekat.
Sedang
si pengemis merasakan kegelisahan yang teramat dahsyat. Karena sebelum petang,
biasanya Zuhri sudah berada bersamanya. Kini si pengemis merasakan betapa
sunyinya malam ini tanpa guyonan jenaka dari Zuhri.
Dalam
keadaan kritis ketika semua sedang sibuk membawanya ke ruang UGD, pandangan
matanya mulai memutih. Tak satu pun yang terlihat, maka perlahan matanya
terpejam dan mulai mencoba berkomunikasi kepada yang mahakuasa.
“ya Tuhan... sampai sini sajakah perjalanan hidupku? Apakah engkau
tidak lagi memberiku kesempatan untuk memperbaiki hidupku? Apakah aku tak boleh
lagi bertemu dengan Zahra. Aku mohon padaMu Tuhan... aku pernah berjanji padaMu
Tuhan, jikalau aku engkau perkenankan bertemu kembali dengan Zahra, ke depan
aku akan selalu mengikuti perintah yang engkau firmankan. apakah janji itu
tidak begitu menarik? Atau memang engkau ingin mengakhiri hidupku sampai sini
saja supaya aku mati dalam keadaan tidak taat padaMu?naku mohon padaMu
Tuhan,berilah aku kesempatan sekali lagi...”
****
Zuhri
terbaring tak berdaya di kasur di sebuah ruangan yang serba berwarna putih. Di
sana, ada dua gadis yang masih setia menunggu bagaimana perkembangan
kondisinya. Satu di antaranya melihat sesuatu yang ganjil dari peristiwa yang
melibatkan mereka dalam kecelakaan Zuhri.
“aneh... kok gak ada luka sama
sekali di tubuhnya? Tapi tubuhnya sangat pucat, biasanya kalau pucat begini,
pasti sudah ada tanda-tanda bahwa dia...”
“hus...! jangan gitu ah. Mungkin
aja bukan luka luar yang bisa kita lihat. Luka dalam kali... tanda-tanda apa
maksud loe?”
“ya... meninggal...”
“tapi dia masih hidup kok. Kalau
dia meninggal, mampus deh kita...”
“kita...? loe aja kali. Kan loe
yang ceroboh.”
“aduh... udah deh, jangan
nakut-nakutin gitu. Mudah-mudahan dia masih bisa diselamatkan. Dan gue masih
bisa mita maaf.
“gue keluar dulu yah... mau ke
toilet bentar.”
“ya...”
Tinggallah
seorang gadis lagi yang mengawal keadaan Zuhri. Ketika gadis itu memalingkan
wajahnya ke Zuhri. Kebetulan, matanya menyorot pada tangan kirinya yang masih
dalam keadaan menggenggam dan melihat adanya kertas terselip digenggaman itu.
“apa itu?”
Karena penasaran, gadis itu mencoba membuka
genggaman itu. Walau terasa sangat sulit membuka genggaman itu, ia tetap
mencoba bersikeras menghilangkan rasa penasarannya. Akhirnya, genggaman itu
terbuka juga. Maka gadis itu membuka lipatan kertas itu, dan membacanya.
Tak
menyangka, surat itu membuat hatinya mengiba dan pilu. Gadis itu membaca surat
sembari melihat wajah Zuhri. Hingga terasa, bola mata nan indah itu menitiskan
air mata membanjiri pipi mulusnya. Semakin larut ia dalam tragedi yang tertulis di surat itu, semakin sesak
pula dadanya, membuat tangisannya semakin deras. Apakah yang tertulis itu
begitu sangat menyedihkan untuk dibaca, sehingga membuat mata berlinangan air
mata? Atau gadis itu merasa sangatbersalah dengan perbuatannya, sehingga ia
menangis sejadi-jadinya.
Gadis
itu semakin mengharu biru. Serta merta ia memeluk tubuh Zuhri yang tak berdaya
itu. Ada apa gerangan, mengapa dia memeluk Zuhri sedemikian hebatnya. Perlahan,
ia melepas pelukan itu dan masih dalam keadaan menangis ia pandangi wajah Zuhri
yang cukup menawan. Air matanya kini membanjiri wajah Zuhri. Terdengarlah
olehnya, Zuhri sedang mengerang. Sejenak itu sangat berarti bagi gadis itu.
Perlahan-lahan Zuhri membuka mata, gadis itu semakin kegirangan dan menyapa.
“bang Zuhri....! bang Zuhri sudah
siuman... alhamdulillah!” gadis itu kembali memeluk Zuhri.
“ka.. kamu siapa?” Zuhri heran.
“akulah yang selama ini abang
cari bang...”
“hah? Apa aku masih dalam keadaan
bermimpi?”
“tidak bang... abang nggak mimpi.
Akulah yang selama ini abang cari... akulah Zahra. Masa abang ga kenal sama
Zahra?”
“bagaimana mungkin aku bisa
mengenalmu, kita telah lama berpisah...”
“bang... akulah Zahra...”
“benarkah itu... benarkah kamu
adalah Zahra?”
Gadis itu mengangguk. Zuhri
memandang ke langit-langit, ia berterimakasih kepada Tuhan dan bersyukur tak
habis-habisnya, sembari memeluk penuh kasih apa yang selama ini ia cari. Zahra.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar