Senin, 27 Januari 2014

SUKMA DALAM SENJA-Cerpen




Usia, kadang tidak bisa diperkirakan dengan mudah. Tahu-tahu, kita lupa dan teralapa bahwa ternyata kita sudah lanjut usia. Masa-masa seperti ini tentu sangat berat. Mungkin kita begitu dipersoalkan masalah ini itu, atau kita sangat menyusahkan. Atau bahkan kita didoakan supaya cepat-cepat meninggalkan dunia yang begitu fana ini.
Kalau sudah lanjut usia, apalagi anak-anak sudah meraih kesuksesannya, tidak jarang kita dilupakan. Padahal hidup mati kita dahulu, kita pertaruhkan demi mereka. Satu-persatu mereka pergi begitu saja, tidak ada yang sudi mengurus kita. Semua harus dilakukan dengan sendiri. Jadi apa guna mereka? Cucu, menantu, bahkan anak-anak darah daging kita sendiri tidak ada yang peduli.
“Sabar-sabarlah kawan, kita di panti jompo ini hanya tinggal menunggu saja. Jangan banyak mengeluh, itu tidak baik. Kita nikmati saja sisa-sisa hidup kita di dunia ini.” Kakek-kakek di sebelah kananku angkat bicara, menepuk-nepuk bahuku. Suaranya begitu parau sekali.
            Bila kulihat, keadaannya sama mirisnya denganku. Ia duduk di kursi roda, mungkin kakinya sudah tidak sanggup untuk membuatnya tegak berdiri. Begitu pula Aku yang disampingnya.
“Kok tiba-tiba anda bisa mengatakan demikian? Memangnya anda tahu apa yang saya pikirkan?” tanyaku.
“Semua yang di tempatkan di panti jompo ini, alasan umumnya itu satu. Keluarga sulit mengurus kita di rumah.” Sedikit mulai terpancar wajahnya yang bijaksana. Walau aku juga melihat pada wajahnya yang menyembunyikan kesedihan yang teramat dalam.
“Sulit, atau malas? Aku, bukannya menyombongkan diri. Orang tuaku, sampai keliang lahatpun Aku yang menyambutnya, kemudian menguburkannya. Anak-anak sekarang, apa? Sekedar mengucapkan selamat pagi sebelum kerja saja tidak sempat.” Aku memang mengungkap fakta yang memang terjadi pada diriku sendiri.
“Memang itulah kenyataan pahit yang harus kita terima. Namun, jangan berprasangka buruk dahulu. Mungkin banyak niat baik mereka menempatkan kita di sini. Anak-anak zaman sekarang tidak tahu cara mainnya mungkin. Tidak tahu bagaimana caranya melaksanakan maksud baik.” Ia memandangku, seolah-olah menyabarkan Aku pada kenyataan pahit yang telah kuterima.
“Bah, kita sudah banyak mengajarkan kepada mereka tentang moral dan akhlak kepada orang tua kawan. Jauh sebelum mereka diajarkan mengeja huruf-huruf latin. Jauh sebelum mereka diajarkan PPKN. Jauh sebelum mereka diajarkan agama. Kita sudah mengajarkan segalanya sebelum itu. Tapi mengapa kita harus mengalami keadaan pahit seperti ini, mengapa kita harus dipaksa untuk menerima kebalikan yang kita ajarkan?” Tidak sadar Aku melototinya. Ia tertunduk, Aku pun menunduk pula.
            Perlahan kami sama-sama memandang senja yang begitu mengiris hati. Senja yang dahulu begitu indah untuk dinikmati. Senja yang dahulu sangat terasa syahdu bersama orang-orang yang dicintai. Tetapi, semua hanya tinggal kenangan. Senja sudah seperti neraka yang siap menikam. Senja sudah seperti pemandangan yang sangat menakutkan untuk dilewati sendiri. Tidak terasa, air mataku sudah mengalir begitu derasnya. Aku menunduk lemah. Cepat cabutlah nyawaku Tuhan.
            Kembali Ia menepuk-nepuk bahuku. Entah siapa sebenarnya dia itu. Tiba-tiba saja ia sudah berada di sampingku tadi.
“Tenanglah kawan, masih banyak orang-orang yang sama nasibnya denganmu. Yang masih setia menemanimu di sini, tidak ada gunanya kita kalut dalam ratapan dan tangisan. Awalnya memang sangat berat, pelan-pelan mari kita jalani bersama. Jika mereka bisa melupakan kita dalam sekejap saja, pastinya kita juga bisa mencari cara untuk melupakan mereka. Coba lihat senja hari ini, jangan atas nama emosi, tapi dari hati kita memandangnya. Pasti sangat terasa indah.”
            Yah, senja memang terasa indah bila tanpa emosi. Aku begitu menikmati, angin bersemilir menyentuh sekujur tubuhku. Ku lihat di sampingku, kemana dia? Dasar tidak sopan. Datang tiba-tiba, hilang juga tidak berbasa-basi sedikit pun. Dasar tidak sopan. Tetapi, peduli amat, Aku masih ingin menikmati senja hari ini yang begitu memukau. Senja tanpa emosi. Terimakasih kawan.
****
            Kukayuh kembali kursi rodaku menuju pelataran belakang tempat ini. Sudah hampir sebulan aku berada di sini. Aku mendengar perawat-perawat di sini menggunjingi Aku. Mereka bilang Aku orang tua yang aneh. Menutup hari-hari yang berat, Aku selalu menatap senja. Mengucapkan sampai jumpa kembali pada sang surya yang tidak pernah lelah menemani bumi.
“Dahulu, Aku sering kali main-main bersama kawan-kawan ketika senja begini. Mengendarai sepeda, berlomba-lomba menuju semenanjug pelabuhan. Melihat kapal keruk mulai pergi dan datang. Melihat sang surya terbenam begitu indahnya. Tidakkah kau ingin mencobanya?” Ia datang lagi, merusak lamunan sedihku.
“Dasar tidak sopan, senangnya membuatku kaget. Kemana saja kau selam ini? Aku tidak pernah melihatmu di setiap aktivitas tempat ini. Kau menawarkan apa?” Agak marah, tapi Aku senang kalau ia datang.
“Kamarku jauh dari sini. Di sudut gedung sana. Aku menawarkan, bagaimana kalau kita berlomba-lomba dengan dengan kursi roda ini. Sekedar mengenang masa-masa yang telah lalu.” Senyum ramahnya membuatku semakin menaruh simpati padanya.
“Dengan kondisi tua renta seperti ini, apa bisa?” Aku kurang yakin.
“lakukanlah dengan tiada beban kawan, lakukan dengan senang hati. Percayalah, segala beban pikiranmu akan hilang sedikit demi sedikit. Ayolah...” Ia semakin semangat.
“Ya sudah, dari mana garis mulainya?”
“Dari sini saja. Finishnya sampai di gedung sana ya.”
            Kami mulai mempersiapkan diri untuk berlomba kursi roda di senja hari yang semakin ceria.
“Satu, dua, tiga...” Teriaknya penuh semangat.
            Dia tidak mau kalah, kayuhannya begitu cepat. Begitu pula aku yang semakin semangat menggapai garis finish.
“Kau pasti akan kalah.” Tantangku sambil mengayuh.
“Jangan terlalu percaya diri kawan. Hahahaha...” ia semakin kencang mengayuh. Garis semakin dekat. Kami sama-sama meraih garis finish. Tetapi, sial... sesudah melewati garis finish, kursi roda tidak bisa kami kendali kan. Dan akh! Aku merasa kaki di atas, kepala di bawa, redup-redup mata memandang kawanku itu juga dalam posisi terjungkir. Dia tersenyum miris.
“Maafkan Aku kawan.” Dia merasa bersalah.
“Dasar tidak sopan.” Balasku pelan. Sejenak pemandanganku menjadi gelap.
                                                            ****
            Sayup-sayup Aku mendengar suara dokter di balik pintu, dia berbicara dengan anakku.
“Tingkahnya memang aneh, informasi yang ku dapat dari panti. Dia bicara-bicara sendiri. Dia memandang matahari tenggelam sendiri saja. Tidak mau diganggu orang lain.” Begitu Aku mendengarnya. Dasar dokter pembual.
            Redup-redup Aku melihat sosok kawanku yang tengah asik makan buah.
“Dasar tidak sopan, kapan kau datang? Kok kau tidak sakit sepertiku.” Aku iri dengannya yang tidak sama sepertiku keadaannya.
“Aku sudah berada di sini sebelum kau membuka mata kawan.” Jawabnya singkat.
“Aduh, kepalaku sangat terasa sakit. Kawan, mereka bilang Aku aneh. Sebenarnya Aku juga ingin bertanya. Siapa sebenarnya kau?” setelah pertanyaan itu, kepalaku semakin terasa sakit.
“Mereka memanggilku Sukma, tenanglah.. aku akan selalu menemanimu.” Ia memegang tanganku.
Pandanganku meredup, kemudian menjadi gelap.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar