Usia,
kadang tidak bisa diperkirakan dengan mudah. Tahu-tahu, kita lupa dan teralapa
bahwa ternyata kita sudah lanjut usia. Masa-masa seperti ini tentu sangat
berat. Mungkin kita begitu dipersoalkan masalah ini itu, atau kita sangat menyusahkan.
Atau bahkan kita didoakan supaya cepat-cepat meninggalkan dunia yang begitu
fana ini.
Kalau
sudah lanjut usia, apalagi anak-anak sudah meraih kesuksesannya, tidak jarang
kita dilupakan. Padahal hidup mati kita dahulu, kita pertaruhkan demi mereka.
Satu-persatu mereka pergi begitu saja, tidak ada yang sudi mengurus kita. Semua
harus dilakukan dengan sendiri. Jadi apa guna mereka? Cucu, menantu, bahkan
anak-anak darah daging kita sendiri tidak ada yang peduli.
“Sabar-sabarlah kawan,
kita di panti jompo ini hanya tinggal menunggu saja. Jangan banyak mengeluh,
itu tidak baik. Kita nikmati saja sisa-sisa hidup kita di dunia ini.”
Kakek-kakek di sebelah kananku angkat bicara, menepuk-nepuk bahuku. Suaranya
begitu parau sekali.
Bila kulihat, keadaannya sama mirisnya denganku. Ia duduk
di kursi roda, mungkin kakinya sudah tidak sanggup untuk membuatnya tegak
berdiri. Begitu pula Aku yang disampingnya.
“Kok tiba-tiba anda
bisa mengatakan demikian? Memangnya anda tahu apa yang saya pikirkan?” tanyaku.
“Semua yang di tempatkan
di panti jompo ini, alasan umumnya itu satu. Keluarga sulit mengurus kita di
rumah.” Sedikit mulai terpancar wajahnya yang bijaksana. Walau aku juga melihat
pada wajahnya yang menyembunyikan kesedihan yang teramat dalam.
“Sulit, atau malas?
Aku, bukannya menyombongkan diri. Orang tuaku, sampai keliang lahatpun Aku yang
menyambutnya, kemudian menguburkannya. Anak-anak sekarang, apa? Sekedar
mengucapkan selamat pagi sebelum kerja saja tidak sempat.” Aku memang
mengungkap fakta yang memang terjadi pada diriku sendiri.
“Memang itulah
kenyataan pahit yang harus kita terima. Namun, jangan berprasangka buruk
dahulu. Mungkin banyak niat baik mereka menempatkan kita di sini. Anak-anak
zaman sekarang tidak tahu cara mainnya mungkin. Tidak tahu bagaimana caranya
melaksanakan maksud baik.” Ia memandangku, seolah-olah menyabarkan Aku pada
kenyataan pahit yang telah kuterima.
“Bah, kita sudah banyak
mengajarkan kepada mereka tentang moral dan akhlak kepada orang tua kawan. Jauh
sebelum mereka diajarkan mengeja huruf-huruf latin. Jauh sebelum mereka
diajarkan PPKN. Jauh sebelum mereka diajarkan agama. Kita sudah mengajarkan
segalanya sebelum itu. Tapi mengapa kita harus mengalami keadaan pahit seperti
ini, mengapa kita harus dipaksa untuk menerima kebalikan yang kita ajarkan?”
Tidak sadar Aku melototinya. Ia tertunduk, Aku pun menunduk pula.
Perlahan kami sama-sama memandang senja yang begitu
mengiris hati. Senja yang dahulu begitu indah untuk dinikmati. Senja yang
dahulu sangat terasa syahdu bersama orang-orang yang dicintai. Tetapi, semua
hanya tinggal kenangan. Senja sudah seperti neraka yang siap menikam. Senja
sudah seperti pemandangan yang sangat menakutkan untuk dilewati sendiri. Tidak
terasa, air mataku sudah mengalir begitu derasnya. Aku menunduk lemah. Cepat
cabutlah nyawaku Tuhan.
Kembali Ia menepuk-nepuk bahuku. Entah siapa sebenarnya
dia itu. Tiba-tiba saja ia sudah berada di sampingku tadi.
“Tenanglah kawan, masih
banyak orang-orang yang sama nasibnya denganmu. Yang masih setia menemanimu di
sini, tidak ada gunanya kita kalut dalam ratapan dan tangisan. Awalnya memang
sangat berat, pelan-pelan mari kita jalani bersama. Jika mereka bisa melupakan
kita dalam sekejap saja, pastinya kita juga bisa mencari cara untuk melupakan
mereka. Coba lihat senja hari ini, jangan atas nama emosi, tapi dari hati kita
memandangnya. Pasti sangat terasa indah.”
Yah, senja memang terasa indah bila tanpa emosi. Aku
begitu menikmati, angin bersemilir menyentuh sekujur tubuhku. Ku lihat di
sampingku, kemana dia? Dasar tidak sopan. Datang tiba-tiba, hilang juga tidak
berbasa-basi sedikit pun. Dasar tidak sopan. Tetapi, peduli amat, Aku masih
ingin menikmati senja hari ini yang begitu memukau. Senja tanpa emosi.
Terimakasih kawan.
****
Kukayuh kembali kursi rodaku menuju pelataran belakang
tempat ini. Sudah hampir sebulan aku berada di sini. Aku mendengar
perawat-perawat di sini menggunjingi Aku. Mereka bilang Aku orang tua yang
aneh. Menutup hari-hari yang berat, Aku selalu menatap senja. Mengucapkan
sampai jumpa kembali pada sang surya yang tidak pernah lelah menemani bumi.
“Dahulu, Aku sering
kali main-main bersama kawan-kawan ketika senja begini. Mengendarai sepeda,
berlomba-lomba menuju semenanjug pelabuhan. Melihat kapal keruk mulai pergi dan
datang. Melihat sang surya terbenam begitu indahnya. Tidakkah kau ingin
mencobanya?” Ia datang lagi, merusak lamunan sedihku.
“Dasar tidak sopan,
senangnya membuatku kaget. Kemana saja kau selam ini? Aku tidak pernah
melihatmu di setiap aktivitas tempat ini. Kau menawarkan apa?” Agak marah, tapi
Aku senang kalau ia datang.
“Kamarku jauh dari
sini. Di sudut gedung sana. Aku menawarkan, bagaimana kalau kita berlomba-lomba
dengan dengan kursi roda ini. Sekedar mengenang masa-masa yang telah lalu.” Senyum
ramahnya membuatku semakin menaruh simpati padanya.
“Dengan kondisi tua
renta seperti ini, apa bisa?” Aku kurang yakin.
“lakukanlah dengan
tiada beban kawan, lakukan dengan senang hati. Percayalah, segala beban
pikiranmu akan hilang sedikit demi sedikit. Ayolah...” Ia semakin semangat.
“Ya sudah, dari mana
garis mulainya?”
“Dari sini saja.
Finishnya sampai di gedung sana ya.”
Kami mulai mempersiapkan diri untuk berlomba kursi roda
di senja hari yang semakin ceria.
“Satu, dua, tiga...”
Teriaknya penuh semangat.
Dia tidak mau kalah, kayuhannya begitu cepat. Begitu pula
aku yang semakin semangat menggapai garis finish.
“Kau pasti akan kalah.”
Tantangku sambil mengayuh.
“Jangan terlalu percaya
diri kawan. Hahahaha...” ia semakin kencang mengayuh. Garis semakin dekat. Kami
sama-sama meraih garis finish. Tetapi, sial... sesudah melewati garis finish,
kursi roda tidak bisa kami kendali kan. Dan akh! Aku merasa kaki di atas,
kepala di bawa, redup-redup mata memandang kawanku itu juga dalam posisi
terjungkir. Dia tersenyum miris.
“Maafkan Aku kawan.”
Dia merasa bersalah.
“Dasar tidak sopan.”
Balasku pelan. Sejenak pemandanganku menjadi gelap.
****
Sayup-sayup Aku mendengar suara dokter di balik pintu,
dia berbicara dengan anakku.
“Tingkahnya memang aneh,
informasi yang ku dapat dari panti. Dia bicara-bicara sendiri. Dia memandang
matahari tenggelam sendiri saja. Tidak mau diganggu orang lain.” Begitu Aku
mendengarnya. Dasar dokter pembual.
Redup-redup Aku melihat sosok kawanku yang tengah asik
makan buah.
“Dasar tidak sopan,
kapan kau datang? Kok kau tidak sakit sepertiku.” Aku iri dengannya yang tidak
sama sepertiku keadaannya.
“Aku sudah berada di
sini sebelum kau membuka mata kawan.” Jawabnya singkat.
“Aduh, kepalaku sangat
terasa sakit. Kawan, mereka bilang Aku aneh. Sebenarnya Aku juga ingin
bertanya. Siapa sebenarnya kau?” setelah pertanyaan itu, kepalaku semakin
terasa sakit.
“Mereka memanggilku
Sukma, tenanglah.. aku akan selalu menemanimu.” Ia memegang tanganku.
Pandanganku meredup,
kemudian menjadi gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar