Siang ini panas terik, sekujur tubuh
dari ujung kaki hingga ubun-ubun terasa terbakar sengatannya. Tapi syukur juga,
jemuranku kali ini akan kering semua. Satu hal yang membuatku tak bisa tenang,
isi perutku sudah mulai mendendangkan lagu kebangsaan yang sudah tak asing lagi
didengar oleh telinga. Kulihat beras sudah habis, dengan penuh pengharapan yang
teramat sangat, aku membuka dompet lusuhku. Ya ampun, Cuma 1000 rupiah cukup
beli apa? Paling-paling Cuma dapat satu roti tuit-tuit. Perutku semakin
mengeraskan volume suara musiknya. Aku mulai kehabisan akal untuk menenangkan
perutku yang sejengkal ini.
Aku hanyalah seorang nazir masjid,
mengaharapkan honor dari kenaziran, masih harus menunggu satu minggu lagi. Apa
kata kenaziran nanti kalau aku memintanya lebih cepat. Pasti anggapan mereka
aku jadi nazir di masjid ini hanya mengharapkan uang saja. Wah, pokoknya aku
tak boleh banyak berharap honor dari kenaziran itu. Tapi bagaimana
menanggulangi perutku yang semakin berguncang. Ah, lebih baik aku tidur
sajalah, bila esok masih sperti ini juga, lebih baik aku puasa saja.
Aku mulai merebahkan diri dan
mencoba memejamkan mata. Tatkala aku sudah akan memasuki portal alam mimpi, aku
dikejutkan oleh ketukan pintu.
Tok...
tok... tok...
“assalamu
alaikum... Rizky!” rupa-rupanya bang Handoko.
“wa
waalaikum salam...!” aku sigap beranjak dan membuka pintu.
“ky,
hari ini kau tidak kemana-manakan?”
“emang
kenapa rupanya bang?”
“hari
ini sepupuku nikah, jadi abang yang sebagai sepupunya wajib hadir dong...”
“terus,
hubungannya samaku apa bang?” keningku mulai berkerut.
“ya
kau temanilah abang, soalnya abang tidak ada yang menemani.”
“tapi
kan bang, secara... aku kan bukan siapa-siapa, undangan pun tidak ada. Nanti
awak malulah bang.”
“ah,
tidak apa-apa itu. Macam mana kali rupanya pesta itu, yang penting kau pasang
muka familiar saja dari awal datang kau ngisi buku tamu, sampai selesai
menyalami pengantin, sudah, selesai...”
“oh,
gitu ya bang?”
“iya,
pokoknya makan enaklah kau hari ini. Sekalian kau perbaikan gizi, karena kau
makin kurus saja ku tengok. Yaudah, ganti baju sana.”
“okelah
kalau begitu bang...”
Dengan semangat menggebu-gebu aku
mulai membuka lemari mencari baju yang cocok untuk ke pesta. Setelah sekian
lama berpikir, akhirnya aku memilih baju kemeja putih yang tampaknya sesuai dan
elegan dengan postur tubuhku yang agak berisi ini. Kupakailah kemeja itu,
sambil mengarah ke kaca, setelah itu aku menyisir rambutku rapi sekali. Baru ku
sadari, bahwa aku ganteng juga rupanya.
****
Aku dan bang Handoko sedang dalam
perjalanan. Satu menit kemudian, kami sudah berada di gedung tempat pesta
diselenggarakan. Dengan penuh percaya diri, aku mengisi buku tamu, kemudian
menyusul bang Handoko. Masuklah kami di gedung mewah yang belum pernah aku
memijakkan kaki di dalamnya. Bang Handoko mulai mengambil piring sebesar talam,
aku pun mengikutinya. Gila, piring orang-orang kaya itu besar-besar rupanya.
Yang lebih membingungkan lagi, menu makanannya aneh-aneh, tak pernah aku
melihatnya di rumah makan mana pun. Supaya tidak nampak kali sebagai undangan
gadungan, aku mengambil sikap biasa-biasa saja dan mengikuti apa menu yang
diambil oleh bang Handoko. Sejauh ini, semua masih berjalan lancar. Aktingku
berhasil.
Piring sudah penuh, masanya
mengambil air minum. Gila, ini jualan atau pesta, menunya banyak sekali.
Daripada tampak bingung yang akhirnya nanti orang curiga, aku ambil saja air
minum favoritku, air putih! Kami pun duduk di posisi paling depan. Sehingga
pengantin, orang tua pengantin dan besannya tampak sangat jelas oleh kami. Tak
tahan dengan protes perut yang semakin menjadi-jadi, kami mulai bersantap ria.
Bergaya layaknya orang kaya, makannya sedikit-sedikit, lalu aku mulai berpikir,
kalau begini caranya bagaimana bisa cepat habis nih makanannya. Bisa-bisa, satu
hari baru habis makanannya. Ah, kulanggar saja aturan makan mereka. Macam betul
aja bah!
Setengah jam kemudian, makanan dan
minuman sudah kandas. Bang Handoko beranjak kembali menuju meja hidangan yang
agak lain dari meja-meja hidangan sebelumnya. Tiga langkah ia berjalan, aku pun
juga mengikuti caranya. Supaya tidak tampak kalau dari tadi aku mengikuti
caranya, aku mengambil jarak agak jauh darinya. Dari semua yang kualami ini,
aku dapat menyimpulkan bahwa ini baru namanya pesta. Beraneka ragam makanan ada
di sini, tidak dipaksakan membawa kado, bingkisan atau amplop. Karena saya
sendiri juga tak bermodal datang kesini. Hanya bermodal muka tebal dan sok
familiar, serta bermodal bang Handoko, maka aku bisa hadir di pesta ini. Jangan
ditiru kalau tak punya mental yang kuat, apalagi mempunyai penyakit jantung,
saya sarankan jangan meniru adegan berbahaya ini. Bisa-bisa malu setengah mati.
Ternyata bang Handoko itu menuju
meja hidangan makanan penutup. Di situ banyak juga aneka makanan yang membuat
aku bingung setengah mati. Gila, makanan dari planet mana lagi nih. Tapi karena
sudah sangat kenyang, aku berbelok ke meja hidangan sebelumnya dan mengambil
minuman yang sangat familiar bagiku, air putih. Hidup air putih! Kami pun
kembali ke posisi semula. Dan menikmati alunan musik klasik. Amboi... rancak
bana musik ini bah!
Setelah minuman kandas, akhirnya aku
dan bang Handoko sepakat untuk keluar dari ruangan eksekutif ini.
“tapi
sebelumnya Ky, ada baiknya kita salamin dulu yang punya acara ini.”
“lho,
tapi aku bukan siapa-siapa lo bang. Nanti orang itu heran pula bang.”
“sudahlah
itu Ky. Ingat Ky, pasang muka familiar atau sok kenal dan sok akrab ja, kau
senyum, mereka pasti membalasmu dengan senyuman juga Ky. Paham? Ngertikan?”
“o...
okelah kalau begitu bang.”
Maka kami langsung beranjak kedepan
untuk menyalami mereka-mereka dalang dari acara pesta nan meriah ini. Diawali
dengan bang Handoko, mereka tidak merasakan keanehan sama sekali, ya iyalah,
secara dia kan sepupu dari pengantin wanita. Kemudian aku mengikuti dari
belakang, dan langsung menyalami dengan senyuman terindah yang pernah kumiliki,
mereka membalasku dengan senyuman juga. Mungkin mereka menganggap bahwa aku
adalah salah satu teman dari pengantin wanita, atau pengantin pria. Jadi tidak
ada kecurigaan antara mereka. Padahal kedua mempelai waktu kusalami juga
mungkin mengira bahwa aku adalah saudara dari planet lain juga.
Tiba saatnya untuk meninggalkan
pesta, keluar dari ruangan aku langsung menghela nafas lega. Akhirnya selamat
juga aku sebagai undangan gadungan yang dipelopori oleh bang Handoko. Perutku
sudah tidak lagi menyalakan musik yang aneh-aneh. Suasana terasa aman nan
sentosa, serasa mata melek melihat surga dunia. Teduh, sejuk, dingin damailah
jadinya. Tapi untuk hari-hari selanjutnya, bagaimana pula aku menyambung hidup
ni. Gawat!
“bang...”
aku mulai membuka perbincangan.
“ya
Ky, ada apa? Gimana makanannya tadi, enakkan?”
“enak
kali pun bang. Cuma ada sesuatu serius yang harus aku bicrakan sam abang.”
“apa
itu Ky?”
“minjem
duit abang ya bang... boleh ya?!”
****
Sebentar lagi honor dari kenaziran
akan mencair dan bisa dinikmati. Yah, walau aku harus puasa dan menghemat uang
pinjaman dari bang Handoko, setidaknya aku masih bisa bertahan hidup sampai
saat ini. Uang dari bang Handoko masih sisa 5000 rupiah, cukuplah beli nasi
lauk telur. Kalau syarat untuk hidup itu bukan makan, pasti ku memilih puasa
saja, selain tidak capek bepikir mencari uang dan capek berpikir makan apa,
juga bisa bebas melakukan apa saja di dunia ini. Tapi ternyata eh ternyata,
harus makan dulu baru bisa menyambung hidup. Itu artinya harus ada uang untuk
beli beras, sayur dan sebagainya. Kalaulah aku boleh berandai-andai, mengapa
dari kecil aku tidak seperti kerbau saja yang makannya hanya rumput, jadi aku
tidak perlu pusing untuk menentukan menu makanan setiap harinya, dan tidak
perlu mencari uang untuk membeli rumput. Tapi nyatanya, manusia itu bukanlah
seperti kerbau yang bisa ikhlas makan rumput setiap harinya. Dan ternyata,
Tuhanku juga melarang hambanya berandai-andai. Alabayadak!
Terdengar olehku ketua kenaziran
masjid memanggilku, maka dengan tidak berlama-lama lagi, aku memenuhi panggilan
itu. Aku sudah tak sabar menerima honor dan segera makan enak sekaligus bayar
utang dari bang Handoko. Setelah menunggu ketua kenaziran menghitung-hitung
uang dan menyampaikan mukaddimahnya, akhirnya masuk ke acara serah terima uang
honor. Alangkah senang hatiku, seakan-akan aku terbang melayang mengitari dunia
dari ujung timur sampai ujung barat. Akhirnya, akhirnya... oh, takkan kurasakan
lagi perut berdemonstrasi tanpa memikirkan tuannya lagi bingung bukan kepalang
karena demonstrasi cacing perut yang tak punya belas kasih sama sekali.
Setelah menerima honor dan pamit
dari ketua kenaziran, aku langsung menuju ruangan nazirku. Eh, rupa-rupanya
sudah ada bang Handoko yang sudah menanti.
“ada
apa bang? Mau nagih utangku ya bang, pas pula nih aku lagi terima honor.”
“ah,
bukan itu maksudku Ky, nih bingkisan untukmu.”
“dari
siapa ini bang.”
“dari
sepupuku Ky.”
“sepupu
abang yang nikah minggu lalu itu kan bang?”
“iya
Ky... bagaimana menurutmu dia?”
“kalau
dari aku yang lugu ini bang, dia itu cantik sekali dan masih muda sekali.”
“iya,
dia memang cantik dan masih muda. Umurnya saja masi 18 tahun Ky.”
“iya
sih, kalau aku lihat dari wajahnya, memang muda kali dia.jadi bang, maksud
abang cerita kayak gini itu, apa maksudnya bang?”
“kemarin
itu sehabis pesta, sepupu abang itu cerita Ky?”
“cerita
apa bang? Cerita dongeng sebelum tidur ya? Hehe.”
“ah
kau ni dah... dia itu cerita masalah kau.”
“cerita
masalah aku? Maksudnya?”
“ya,
cerita saat kau datang kepestanya itulah. Tau kau Ky, ternyata dari awal kau
datang sampai akhir itu kau diperhatikannya.”
“oihmakjang...!
macam mana kali rupanya aku ini bang? Biasa aja kayaknya.”
“menurutmu
kau itu biasa, tapi menurut dia itu luar biasa Ky.”
“terus
apa lagi yang dia ceritakan bang?”
“kau
itu orangnya macho dan ganteng.”
“ada-ada
saja. Nanti salah nyeritakan orang dia bang, nanti bukan aku yang dimaksudnya
bang. Atau abang memfitnah aku ni. Abang ngarang cerita ni kan? Biar aku cepat
bayar utang?!”
“oalah
ky... nagapain abang bohong sama kau, jelas-jelas yang diceritakan dia itu
ciri-cirinya pas kali dengan ciri-cirimu geblek! Terus dia bilang, kalau saja
dia belum menikah, pasti kau sudah jadi pendamping hidupnya Ky.”
“???”
melongo dengan pandangan kosong. Dalam tak sadar aku juga mengatakan.
“iya
bang, seandainya saja dia belum menikah, pasti aku tidak menolak tawarannya
itu.”
“???”
bang Handoko menganga.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar