Ketika menghampir di istanamu yang megah
Segan itu membalut mengimbangi dinginnya hujan
Masih terasa hina jika pengemudi menjejaki kaki di
peraduan tuan putri
Keterpaksaan muncul ketika sebuah senyuman
meluluhkan hati
Kuyup itu semakin membekukan langkah kaki
Kehangatan lembut lakumu mencairkannya
Dan pemuda semakin tunduk pada hakikat diri
Untuk apa memenuhi hasratnya?
Dalam ketertegunan yang membayangi
Aroma kehangatan semakin menandingi
Pemuda semakin tidak sadarkan diri
Akan pesona yang kau miliki
Ah, mungkin hanya sebuah hayalan
Berkutat pada pikiran melayang
Bangunlah pemuda bersamaan hujan
Kian lama kian terang
Mungkin, tidak ada yang berkesan bagimu
Kecuali pemuda yang tak tau diri yang pernah
mengantarmu
Mungkin, ini hanya sebuah keberuntungan
ATAU... hanya
sebuah keterpaksaan
Jika bukan karena hujan
Takkan mungkin niat hati sudi diantarkan
Seruputan teh terakhir yang mungkin tidak akan kau
hidangkan lagi untuknya
Cukup menambah keberanian yang juga takkan pernah
kau dapati lagi setelahnya
Buliran bayu semakin menipis bersamaan nafas yang
melega
Sudah saatnya memalingkan wajah
Jika memang dia yang pertama
Mengapa hati yang lalu masih menyapa?
Rona wajah yang kian mewarna
Takkan mungkin sedikit yang memujanya
Biarlah ini menjadi cerita lalumu
Yang mungkin tak kau ingat lagi di benakmu
Biarlah pemuda itu berlalu
Bersama hujan yang telah berlalu
Hujan menjadi saksi
Malam pun takkan menghakimi
Biarlah sepi menghantui diri
Pemuda pun pergi menyadarkan diri
Dan kau berkata pelan padanya
“Terimakasih untuk malam ini,
Sudikah kau berpuisi mengenang hujan malam ini?
Kernyitan lahir di dahi
Lembut pula ia membalas “dengan senang hati”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar