Kamis, 23 Januari 2014

Petualangan (Bibit Novel Selanjutnya)-Cerpen



Di Puncak Sibayak
“Hari ini, kalian semua siap!” Bang bambang meyakinkan.
“Siap!” Serentak kami menjawab.
“Oke, mari kita mulai perjalanan kita.”
            Kami... Aku si Jawa tampan, Ari si Mandailing boru Nasution, Oki si Jawa Medan, dan dua teman yang tidak mau ketinggalan Rahmat si Nias yang bermarga Zebua  dan Asenk yang bukan Tionghoa tapi bermarga Sinaga, bersama sesepuh kami yang tidak asing lagi bang Bambang, akan pergi mendaki menaklukkan gunung Sibayak, sebagai pengenalan dan pendekatan diri antara sahabat. Gunung Sibayak adalah gunung Tertinggi kedua setelah gunung Sinabung di Sumatera Utara ini. Kami adalah kader-kader yang dipercaya bang Bambang dalam suatu UKM seni Teater. Melalui perjalanan ini, beliau mencoba mengukur kemampuan kami dari segala aspek.
            Dingin mulai menyentuh, hingga merasuk ke tulang. Langkah semakin ringkih tidak berdaya. Hanya semangat yang tersisa.
“Bagaimana ini kawan-kawan, masih ada niat menuju ke sana.” Keluh Rahmat dengan posisi rukuk.
“Kalau capeknya sekarat, ada baiknya istirahat saja dahulu. Kita nikmati perbekalan yang ada.” Sambut bang Bambang yang bijak.
“Okelah, istirahat kita dulu. Lumayan capeknya nih.” Oki meringis.
“Hehehe... malam tahun baru, orang enak-enak makan di kota sana. Kita malah mendaki.” Ari ikut meringis. Sementara Asenk tertular juga ikut meringis.
“Sudah... nikmati dulu istirahatnya, sebentar lagi kita lanjutkan perjalanan. Ini masih sepertiganya. Minum-minum makan-makan dululah.”
“Hm... Aku seperti bersandar di pohon yang besar ya?” Bersandar di tas besarku.
“Hehehehe... ada-ada saja kau ini.” Seru Asenk.
            Aku mencoba menahan dingin yang semakin menggila. Semakin terdiam, semakin membeku. Maka ku coba untuk bergerak agar dingin ini sirna. Semua telah siap, perjalanan berlanjut. Malam mendekati larut dengan kedinginan yang semakin akut. Agak terkejut karena ternyata kami melewati perkuburan. Gelap ditambah rerindangan pohon, ditambah kuburan, sama dengan NGERI.
“Rif, aku takut. Merinding aku.” Ari mempercepat langkahnya.
“Hm, untuk menghilangkan rasa takut, anggap saja malam itu seperti di siang hari. Apa yang kau rasakan di siang hari, coba rasakan di malam hari.” Berbisik kepada Ari
“Terus jangan coba-coba melihat ke belakang kalau terjadi apa-apa.” Sambut Oki.
“Terus, baca-baca ayat-ayat yang bisa kau baca.” Sambung Rahmat.
“Terus, kalian dengar gonggongan anjing di depan rumah inang itu. Apa kita bisa melewatinya.” Sambung Asenk berbisik.
“Sssssstttt... ya sudah, jangan ribut. Kalau kita dikejarnya, bisa mampus kita.” Kata bang Bambang serius.
            Kami mulai melewati anjing itu pelan-pelan. Hingga akhirnya si anjing melolong panjang membuat bulu kuduk kami sontak berdiri. Beberapa meter setelah melewatinya, spontan tanpa aba-aba kami mengambil langkah seribu. Sekencang-kencangnya! Hingga akhirnya kami selamat dari incaran anjing itu dan berhenti sejenak.
“Waduh... gila tuh anjing.” Asenk ngos-ngosan.
“Untung kita selamat.” Sambut Rahmat.
“perjalanan masih panjang, ayo kita lanjutkan.” Ajak Oki penuh semangat.
            Bulan menerawang kegelapan. Membuat jalan menjadi terang. Hingga akhirnya tenaga kami benar-benar sudah mencapai batasnya, kami terduduk di persimpangan antara jalan menuju gunung Sibayak dan Berastagi.
“Sepertinya kita tidak bisa langsung menuju puncak, kita istirahat dulu saja di sini. Kita buka perkemahan di sini.” Saran bang Bambang.
“Ya sudah, langsung saja kita laksanakan.” Oki dengan sigap membuka tasnya. Kemudian mulai mempersiapkan alat-alat perkemahan. Rahmat dan Asenk membuat penerangan sementara aku dan Ari mencari kayu.  Tidak membutuhkan waktu yang lama, kemah sudah berdiri tegak. Oki menebar garam di sekitar perkemahan. Hingga akhirnya, buaian angin menggoda dan menciptakan kelelapan tidur.
                                                            ****
Bagi para pecinta, yang merasa nyaman disamping kekasihnya, mungkin ini bukan hal yang mengesankan. Kami adalah orang-orang yang saat ini tidak menerima SMS “Selamat pagi yank... Sudah sarapan beyom?” atau mendapat telepon pagi-pagi sekedar memberi semangat menjalani hari. Tetapi kami adalah orang-orang yang harus menaklukkan pagi untuk di arungi dan dinikmati bersama. Ada yang mengira ini adalah kebodohan, karena menurutnya, berjalan kaki menaklukkan gunung Sibayak adalah hal yang sia-sia. Tetapi bila di pahami, banyak pelajaran yang bisa diambil sebagai pelajaran hidup. Hanya para pendaki saja yang tahu rahasia itu.
“Are you ready!” Seru bang Bambang dengan penuh semangat, setelah istirahat yang cukup memuaskan.
“Ready!” Sambut kami serentak.
            Pagi yang damai, sinar mentari menyertai langkah kami. Kehangatan yang diberikannya telah cukup membuat semangat kami terbakar. Tidak peduli cucuran peluh membasahi, kami terus berjalan, berjalan dan terus berjalan. Ada curhat-curhat menghiasi perjalanan, ada makian, ada emosi, ada amarah, ada tawa, ada ejek mengejek, ada kesedihan. Semua terangkum dalam perjalanan. Mentari terus mengikuti, hingga akhirnya ia pamit pulang mengucapkan selamat datang pada sang malam.
“Akhirnya kita sampai juga” Ari senangnya bukan main.
“Alhamdulillah ya.” Balasku tenang. Dan semua tersenyum puas telah sampai dipuncak, meski tidak terlihat apa-apa lagi karena gelapnya malam telah menyelimuti.
            Oki mempersiapkan perkemahan. Sementara yang lain mempersiapkan makan malam. Tetapi...
“Wah, bagaimana ini? Bahan makanan kita Cuma tinggal beras, telur dan garam. Gawat!” Rahmat resah.
“Sudah, masak saja dulu... yang penting perut kita terganjal.”bang Bambang mencoba mencairkan suasana.
            Semua mencoba menghibur diri masing-masing sambil menunggu beras berubah menjadi nasi, dan menikmati aromanya yang memebelai-belai hidung. Ada yang shalat, ada yang menunggu perapian, ada yang menggerutu, ada yang meratapi nasib, dan ada yang terkesimah melihat ribuan kilauan bintang.
“Sudah bisa dimakan nih... ayo buruan dimakan, mumpung masih hangat.” Oki membagikan nasi disetiap piring yang tersedia.
“Sedap... nasi campur telur.” Aku sudah tidak sabar melahapnya.
“Hehehe... malam tahun baru, orang enak-enak makan di kota sana. Kita malah di sini.” Seru Ari yang entah ke berapa kalinya dia mengulangi kata-kata itu.
“Ayo... ayo. Mari kita makan rendangnya.” Bang Bambang mencoba menghibur diri. Kami langsung melahapnya dengan penuh khidmad.
“Kok hambar ya.” Rahmat menguji lidahnya.
“Coba tambah garam Mat, agak lebih asik sepertinya.” Saranku singkat.
            Dalam asiknya kami melahap nasi, tidak diduga sama sekali air mata bang Bambang meleleh. Rahmat memberitahuku dan memberi tahu yang lainnya melalui kode yang dia ciptakan sendiri. Kami hanya bisa tersenyum tidak jelas, dan nyaris meledakkan tawa. Seumur-umur, baru kali ini kami melihat bang Bambang menangis. Sadar dengan apa yang telah terjadi, bang Bambang menyeka air matanya. Dia pun tersenyum karena telah melakukan sesuatu yang menurut kami lucu. Kami sadar, ini adalah pertama kalinya mendaki gunung. Tentu banyak hal yang tidak terduga dalam setiap prosesnya.
            Pukul 00.00 tepat! Makan malam telah usai. Bunga-bunga api melayang di udara, kami menikmatinya dengan penuh khidmad. Sensasinya sungguh luar biasa. Kami merasa bahagia dengan  keadaan yang memukau ini. Walau tanpa pasangan. Karena ternyata, kebahagiaan tidak hanya sebatas itu saja. Meski pada umumnya lebih indah bila tahun baru bisa dinikmati bersama dengan kekasih.
            Saatnya istirahat, sungguh tidak sabar rasanya menunggu mentari bersinar lagi. Akan banyak pemandangan indah yang bisa menghibur, menghilangkan kelelahan yang ada. Kami mulai masuk ke perkemahan. Astaga, dingin sekali, padahal aku sudah memakai lima lapis pakaian. Sekuat tenaga kami mencoba menahannya. Hingga akhirnya suhu tubuh ini berhasil kami kuasai.
                                                            ****
“Ayo Rif... ulurkan tanganmu. Sebentar lagi matahari muncul!” Ari semangat sekali. Setelah Aku mencapai puncak, aku mengulurkan tangan kepada bang Bambang. Selanjutnya Rahmat, Oki dan Asenk. Akhirnya kami benar benar berada di puncak gunung Sibayak!
            Mentari hilang timbul. Kami tidak beruntung, tidak bisa menyaksikan terbitnya Mentari. Namun sedikit menghibur ketika ia malu-malu meronakan cahanya di balik awan. Semakin menjemput siang, semakin indah di pandang alam raya ini. Kami terasa berdiri di atas awan. Puncak Sinabung kelihatan dari sini. Dan kota Medan terhampar luas di sana. Tidak akan kami sia-siakan moment yang sungguh berharga ini.
“Batre HP-mu masih ada kan Ri?” tanyaku.
“Tunggu, ku periksa dulu... hm, ada!”
“Foto-foto!” Asenk girang bukan kepalang.
            Sibayak telah kami taklukkan. Mungkin selanjutnya gunung Sinabung. Sebagai bukti bahwa kami menaklukkan gunung Sibayak, kami berpose menghadap kawahnya yang berwarna biru kehijau-hijauan. Setelah puas menikmati eksotisnya puncak Sibayak, maka kami bergegas. Saatnya berpamitan.
            Kami berkemas, selesai sudah mengenali diri masing-masing dan mengenali karakter sesama. Terimakasih Sibayak, engkau telah banyak mengajarkan filsafat hidup. Sampai jumpa kembali di lain waktu.
“Kita ke Berastagi ya?” semangat bang Bambang kembali membara.
“Oke.” Jawab kami semangat pula.
Kami bukanlah mahasiswa pecinta alam, kami cuma mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia Teater. Ini hanyalah improvisasi kami. Tentu caranya sangat berbeda, mereka punya peta kontur, kompas dan lain-lain. Sementara kami memakai cara kami yang suka-suka. Hingga kami tidak tahu sudah berapa kilo meter yang telah kami jalani.
            Berastagi di depan mata.  Tentu semakin semangat untuk menggapainya.
“Eh, kalian bulan lalu buat permohonan beasiswa?” tanya Ari tiba-tiba.
“Ngurus Ri, kenapa?” Sambut Asenk.
“Kau, kau, kau...?” Ari menunjuk Aku, Oki dan Rahmat.
“Kami ngurus juga Ri...”jawaban kami diwakilkan oleh Oki.
“Berdasarkan informasi yang saya terima, saya telah menerima..,”
“Heleh, berbelit-belit. Langsung saja sampaikan intinya Ri.” Bang Bambang sudah tidak sabar rupanya.
“Oke bang, langsung saja. Kita sepertinya sudah bisa mencairkan beasiswa itu. Mari kita cek di ATM terdekat. Hehehehe...” Ari nyengir-nyengir tidak jelas.
“Asik....! makan enak nih kita. Hahahaha...” Asenk makin sipit matanya karena tertawa terbahak-bahak. Maka tanpa banyak cerita, kami langsung mencari ATM terdekat, dan mencari rumah makan yang menunya sedikit membuat kami tersenyum puas.
            Ada beberapa pelajaran dalam perjalanan panjang ini.
Pertama: Bahagia itu tidak selamanya ketika kita di samping pacar. Berada di dekat teman-teman juga tidak kalah hebatnya dibanding dekat dengan pacar.
Kedua: Tidak terlalu sulit untuk mengetahui sifat asli teman kita. Dari perjalanan seperti ini, kita dapat dengan muda mengenali sifat asli mereka. Hingga kita bisa saling memahami.
Ketiga: Melalui perjalanan seperti ini, kita belajar bagaimana caranya bertahan hidup dengan kondisi yang serba berkekurangan.
Keempat: Melalui perjalanan seperti ini juga, kita dapat mempelajari hakikat kesabaran dan mendalami kesetiakawanan.
Kelima: Percayalah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Keenam: Cukup sekian dan terima kasih. Hidup jomblo setanah air! I love you full!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar