Di Puncak
Sibayak
“Hari ini,
kalian semua siap!” Bang bambang meyakinkan.
“Siap!” Serentak
kami menjawab.
“Oke, mari kita
mulai perjalanan kita.”
Kami... Aku si Jawa tampan, Ari si
Mandailing boru Nasution, Oki si Jawa Medan, dan dua teman yang tidak mau
ketinggalan Rahmat si Nias yang bermarga Zebua dan Asenk yang bukan Tionghoa tapi bermarga
Sinaga, bersama sesepuh kami yang tidak asing lagi bang Bambang, akan pergi
mendaki menaklukkan gunung Sibayak, sebagai pengenalan dan pendekatan diri
antara sahabat. Gunung Sibayak adalah gunung Tertinggi kedua setelah gunung
Sinabung di Sumatera Utara ini. Kami adalah kader-kader yang dipercaya bang Bambang
dalam suatu UKM seni Teater. Melalui perjalanan ini, beliau mencoba mengukur
kemampuan kami dari segala aspek.
Dingin mulai menyentuh, hingga
merasuk ke tulang. Langkah semakin ringkih tidak berdaya. Hanya semangat yang
tersisa.
“Bagaimana ini
kawan-kawan, masih ada niat menuju ke sana.” Keluh Rahmat dengan posisi rukuk.
“Kalau capeknya
sekarat, ada baiknya istirahat saja dahulu. Kita nikmati perbekalan yang ada.”
Sambut bang Bambang yang bijak.
“Okelah,
istirahat kita dulu. Lumayan capeknya nih.” Oki meringis.
“Hehehe... malam
tahun baru, orang enak-enak makan di kota sana. Kita malah mendaki.” Ari ikut
meringis. Sementara Asenk tertular juga ikut meringis.
“Sudah...
nikmati dulu istirahatnya, sebentar lagi kita lanjutkan perjalanan. Ini masih
sepertiganya. Minum-minum makan-makan dululah.”
“Hm... Aku
seperti bersandar di pohon yang besar ya?” Bersandar di tas besarku.
“Hehehehe...
ada-ada saja kau ini.” Seru Asenk.
Aku mencoba menahan dingin yang
semakin menggila. Semakin terdiam, semakin membeku. Maka ku coba untuk bergerak
agar dingin ini sirna. Semua telah siap, perjalanan berlanjut. Malam mendekati
larut dengan kedinginan yang semakin akut. Agak terkejut karena ternyata kami
melewati perkuburan. Gelap ditambah rerindangan pohon, ditambah kuburan, sama
dengan NGERI.
“Rif, aku takut.
Merinding aku.” Ari mempercepat langkahnya.
“Hm, untuk
menghilangkan rasa takut, anggap saja malam itu seperti di siang hari. Apa yang
kau rasakan di siang hari, coba rasakan di malam hari.” Berbisik kepada Ari
“Terus jangan
coba-coba melihat ke belakang kalau terjadi apa-apa.” Sambut Oki.
“Terus,
baca-baca ayat-ayat yang bisa kau baca.” Sambung Rahmat.
“Terus, kalian
dengar gonggongan anjing di depan rumah inang itu. Apa kita bisa melewatinya.”
Sambung Asenk berbisik.
“Sssssstttt...
ya sudah, jangan ribut. Kalau kita dikejarnya, bisa mampus kita.” Kata bang
Bambang serius.
Kami mulai melewati anjing itu
pelan-pelan. Hingga akhirnya si anjing melolong panjang membuat bulu kuduk kami
sontak berdiri. Beberapa meter setelah melewatinya, spontan tanpa aba-aba kami
mengambil langkah seribu. Sekencang-kencangnya! Hingga akhirnya kami selamat
dari incaran anjing itu dan berhenti sejenak.
“Waduh... gila
tuh anjing.” Asenk ngos-ngosan.
“Untung kita
selamat.” Sambut Rahmat.
“perjalanan
masih panjang, ayo kita lanjutkan.” Ajak Oki penuh semangat.
Bulan menerawang kegelapan. Membuat
jalan menjadi terang. Hingga akhirnya tenaga kami benar-benar sudah mencapai
batasnya, kami terduduk di persimpangan antara jalan menuju gunung Sibayak dan
Berastagi.
“Sepertinya kita
tidak bisa langsung menuju puncak, kita istirahat dulu saja di sini. Kita buka
perkemahan di sini.” Saran bang Bambang.
“Ya sudah,
langsung saja kita laksanakan.” Oki dengan sigap membuka tasnya. Kemudian mulai
mempersiapkan alat-alat perkemahan. Rahmat dan Asenk membuat penerangan
sementara aku dan Ari mencari kayu.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, kemah sudah berdiri tegak. Oki
menebar garam di sekitar perkemahan. Hingga akhirnya, buaian angin menggoda dan
menciptakan kelelapan tidur.
****
Bagi
para pecinta, yang merasa nyaman disamping kekasihnya, mungkin ini bukan hal
yang mengesankan. Kami adalah orang-orang yang saat ini tidak menerima SMS
“Selamat pagi yank... Sudah sarapan beyom?” atau mendapat telepon pagi-pagi
sekedar memberi semangat menjalani hari. Tetapi kami adalah orang-orang yang
harus menaklukkan pagi untuk di arungi dan dinikmati bersama. Ada yang mengira
ini adalah kebodohan, karena menurutnya, berjalan kaki menaklukkan gunung
Sibayak adalah hal yang sia-sia. Tetapi bila di pahami, banyak pelajaran yang
bisa diambil sebagai pelajaran hidup. Hanya para pendaki saja yang tahu rahasia
itu.
“Are you ready!”
Seru bang Bambang dengan penuh semangat, setelah istirahat yang cukup
memuaskan.
“Ready!” Sambut
kami serentak.
Pagi yang damai, sinar mentari
menyertai langkah kami. Kehangatan yang diberikannya telah cukup membuat
semangat kami terbakar. Tidak peduli cucuran peluh membasahi, kami terus
berjalan, berjalan dan terus berjalan. Ada curhat-curhat menghiasi perjalanan,
ada makian, ada emosi, ada amarah, ada tawa, ada ejek mengejek, ada kesedihan.
Semua terangkum dalam perjalanan. Mentari terus mengikuti, hingga akhirnya ia
pamit pulang mengucapkan selamat datang pada sang malam.
“Akhirnya kita
sampai juga” Ari senangnya bukan main.
“Alhamdulillah
ya.” Balasku tenang. Dan semua tersenyum puas telah sampai dipuncak, meski
tidak terlihat apa-apa lagi karena gelapnya malam telah menyelimuti.
Oki mempersiapkan perkemahan.
Sementara yang lain mempersiapkan makan malam. Tetapi...
“Wah, bagaimana
ini? Bahan makanan kita Cuma tinggal beras, telur dan garam. Gawat!” Rahmat
resah.
“Sudah, masak
saja dulu... yang penting perut kita terganjal.”bang Bambang mencoba mencairkan
suasana.
Semua mencoba menghibur diri
masing-masing sambil menunggu beras berubah menjadi nasi, dan menikmati
aromanya yang memebelai-belai hidung. Ada yang shalat, ada yang menunggu
perapian, ada yang menggerutu, ada yang meratapi nasib, dan ada yang terkesimah
melihat ribuan kilauan bintang.
“Sudah bisa
dimakan nih... ayo buruan dimakan, mumpung masih hangat.” Oki membagikan nasi
disetiap piring yang tersedia.
“Sedap... nasi
campur telur.” Aku sudah tidak sabar melahapnya.
“Hehehe... malam
tahun baru, orang enak-enak makan di kota sana. Kita malah di sini.” Seru Ari
yang entah ke berapa kalinya dia mengulangi kata-kata itu.
“Ayo... ayo.
Mari kita makan rendangnya.” Bang Bambang mencoba menghibur diri. Kami langsung
melahapnya dengan penuh khidmad.
“Kok hambar ya.”
Rahmat menguji lidahnya.
“Coba tambah
garam Mat, agak lebih asik sepertinya.” Saranku singkat.
Dalam asiknya kami melahap nasi,
tidak diduga sama sekali air mata bang Bambang meleleh. Rahmat memberitahuku
dan memberi tahu yang lainnya melalui kode yang dia ciptakan sendiri. Kami
hanya bisa tersenyum tidak jelas, dan nyaris meledakkan tawa. Seumur-umur, baru
kali ini kami melihat bang Bambang menangis. Sadar dengan apa yang telah
terjadi, bang Bambang menyeka air matanya. Dia pun tersenyum karena telah
melakukan sesuatu yang menurut kami lucu. Kami sadar, ini adalah pertama
kalinya mendaki gunung. Tentu banyak hal yang tidak terduga dalam setiap
prosesnya.
Pukul 00.00 tepat! Makan malam telah
usai. Bunga-bunga api melayang di udara, kami menikmatinya dengan penuh
khidmad. Sensasinya sungguh luar biasa. Kami merasa bahagia dengan keadaan yang memukau ini. Walau tanpa pasangan.
Karena ternyata, kebahagiaan tidak hanya sebatas itu saja. Meski pada umumnya
lebih indah bila tahun baru bisa dinikmati bersama dengan kekasih.
Saatnya istirahat, sungguh tidak
sabar rasanya menunggu mentari bersinar lagi. Akan banyak pemandangan indah
yang bisa menghibur, menghilangkan kelelahan yang ada. Kami mulai masuk ke
perkemahan. Astaga, dingin sekali, padahal aku sudah memakai lima lapis
pakaian. Sekuat tenaga kami mencoba menahannya. Hingga akhirnya suhu tubuh ini
berhasil kami kuasai.
****
“Ayo Rif... ulurkan
tanganmu. Sebentar lagi matahari muncul!” Ari semangat sekali. Setelah Aku
mencapai puncak, aku mengulurkan tangan kepada bang Bambang. Selanjutnya
Rahmat, Oki dan Asenk. Akhirnya kami benar benar berada di puncak gunung
Sibayak!
Mentari hilang timbul. Kami tidak
beruntung, tidak bisa menyaksikan terbitnya Mentari. Namun sedikit menghibur
ketika ia malu-malu meronakan cahanya di balik awan. Semakin menjemput siang,
semakin indah di pandang alam raya ini. Kami terasa berdiri di atas awan.
Puncak Sinabung kelihatan dari sini. Dan kota Medan terhampar luas di sana.
Tidak akan kami sia-siakan moment yang sungguh berharga ini.
“Batre HP-mu
masih ada kan Ri?” tanyaku.
“Tunggu, ku
periksa dulu... hm, ada!”
“Foto-foto!”
Asenk girang bukan kepalang.
Sibayak telah kami taklukkan.
Mungkin selanjutnya gunung Sinabung. Sebagai bukti bahwa kami menaklukkan
gunung Sibayak, kami berpose menghadap kawahnya yang berwarna biru
kehijau-hijauan. Setelah puas menikmati eksotisnya puncak Sibayak, maka kami
bergegas. Saatnya berpamitan.
Kami berkemas, selesai sudah
mengenali diri masing-masing dan mengenali karakter sesama. Terimakasih
Sibayak, engkau telah banyak mengajarkan filsafat hidup. Sampai jumpa kembali
di lain waktu.
“Kita ke
Berastagi ya?” semangat bang Bambang kembali membara.
“Oke.” Jawab
kami semangat pula.
Kami bukanlah
mahasiswa pecinta alam, kami cuma mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia
Teater. Ini hanyalah improvisasi kami. Tentu caranya sangat berbeda, mereka
punya peta kontur, kompas dan lain-lain. Sementara kami memakai cara kami yang
suka-suka. Hingga kami tidak tahu sudah berapa kilo meter yang telah kami
jalani.
Berastagi di depan mata. Tentu semakin semangat untuk menggapainya.
“Eh, kalian
bulan lalu buat permohonan beasiswa?” tanya Ari tiba-tiba.
“Ngurus Ri,
kenapa?” Sambut Asenk.
“Kau, kau,
kau...?” Ari menunjuk Aku, Oki dan Rahmat.
“Kami ngurus
juga Ri...”jawaban kami diwakilkan oleh Oki.
“Berdasarkan
informasi yang saya terima, saya telah menerima..,”
“Heleh,
berbelit-belit. Langsung saja sampaikan intinya Ri.” Bang Bambang sudah tidak
sabar rupanya.
“Oke bang,
langsung saja. Kita sepertinya sudah bisa mencairkan beasiswa itu. Mari kita
cek di ATM terdekat. Hehehehe...” Ari nyengir-nyengir tidak jelas.
“Asik....! makan
enak nih kita. Hahahaha...” Asenk makin sipit matanya karena tertawa
terbahak-bahak. Maka tanpa banyak cerita, kami langsung mencari ATM terdekat,
dan mencari rumah makan yang menunya sedikit membuat kami tersenyum puas.
Ada beberapa pelajaran dalam
perjalanan panjang ini.
Pertama: Bahagia
itu tidak selamanya ketika kita di samping pacar. Berada di dekat teman-teman
juga tidak kalah hebatnya dibanding dekat dengan pacar.
Kedua: Tidak
terlalu sulit untuk mengetahui sifat asli teman kita. Dari perjalanan seperti
ini, kita dapat dengan muda mengenali sifat asli mereka. Hingga kita bisa
saling memahami.
Ketiga: Melalui
perjalanan seperti ini, kita belajar bagaimana caranya bertahan hidup dengan
kondisi yang serba berkekurangan.
Keempat: Melalui
perjalanan seperti ini juga, kita dapat mempelajari hakikat kesabaran dan
mendalami kesetiakawanan.
Kelima:
Percayalah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Keenam: Cukup
sekian dan terima kasih. Hidup jomblo setanah air! I love you full!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar