Jaring-jaring
pikiran mulai menjalar mengelabui medan Wernick-ku
yang mulai melemah. Berjalan lambat menelusuri belantara yang semak hingga ke
sudut buntu, membuatku semakin tidak berdaya. Terbelenggu dalam pikiran sendiri,
terpenjara dan semakin menyakitkan bahwa ternyata Aku tak mengenal diriku
sendiri.
Aku
siapa? Dari mana asalku? Siapa yang menciptakan dan melahirkanku, hingga Aku
sampai di tempat yang penuh kesesakan ini? pertanyaan-pertanyaan itu membuncah
seakan ingin meledakkan isi otakku. Tangan-tanganku mulai meraba
denyutan-denyutan keras yang memberontak hingga Aku harus meneriakkan kesakitan
ini. Oh... pikiranku mulai memapah dirinya sendiri dan mencoba untuk tegak
berdiri. Ayolah kawan... bangun lagi, cari lagi kisah-kisah lama yang telah
menjerumuskanmu di tempat hina ini.
Awan-awan
hitam mulai menyelimuti. Buliran air mulai menghujam bumi. Perlahan-lahan kian
lama kian menjadi kelebatan air yang membasahi diri. Sejenak otakku mulai
dingin. Hingga akhirnya kegigilan memeluk mesra, dan aku berdekap dalam
kebingungan menjatuhkan diri pada jalan sepi tidak berkehidupan. Nanar...
sekonyong-konyong mata melemahkan pandangan. Mungkin kegelapan akan menuntun
alam pikirku, hingga aku sadar siapa diriku sebenarnya.
****
“Syukurlah
kamu sudah siuman. Kami menemukanmu di pinggir jalan sedang pingsan. Sekarang
istirahatlah dahulu. Jangan berpikiran yang macam-macam, kamu aman di sini.”
Suara lembut wanita tua itu sembari menyelimutiku, dan berkata kembali.
“Kamu
pasti kedinginan. Tunggu biar anak ibu memberikan minuman hangat untukmu.
Nana...! sediakan teh manis hangat untuk abang ini...! segera ya...!”
“iya
bu...!” sahut suara gadis di dapur sana.
Ibu? Aku pernah mendengar kata itu.
Beliau mulai memandangku penuh dengan kelembutan. Keningku mengerut, bibir
mencoba mengumbarkan senyum walau hanya sekadarnya. Kemudian ibu pergi dalam
keterpakuanku memandang sosok yang kuanggap malaikat penyelamat dalam hidupku.
Ibu... Ibu? Hm... siapa yang menciptakan makhluk sesempurna itu?
Tatapan kosong kembali melayang.
Pikiran dan otakku bekerja keras memaknai, mencari-cari memori tentang sosok
ibu. Siapa ibu? Ah... kepalaku semakin terasa sakit. Tatapan kosong dan
kesakitanku berubah menjadi kenyamanan ketika sesosok gadis datang menghampiriku
dengan membawa segelas teh hangat. Gelas? Gelas! Akh...! serpihan-serpihan
ingatan itu muncul membuatku teriak sekuat-kuatnya. Aduh... kepalaku berdenyut.
Mataku memandang nanar dan bayangan putih menghalanginya. Hingga tidak ada lagi
yang kulihat kecuali putih.
“Ibu...
Tolong...!” Teriak si gadis cemas.
****
Mataku kembali terbuka. Pandangan
masih seperti kabut pagi, kala embun perlahan-lahan menyejukkan dedaunan. Kala
bunga-bunga mawar masih ranum harumnya, hingga udara pagi sangat sejuk dirasakan.
Terlayang kembali tatapan kosong yang akan mengisahkan semuanya. Tatapan yang
akan menjawab pertanyaan-pertanyaan siapa Aku, tatapan yang akan menjawab siapa
ibuku, tatapan yang akan menjawab ada apa dengan sebuah gelas.
Mata yang berkaca-kaca mengungkap
sebuah cerita. Abangku... yah, karena abangku Aku menjadi seperti ini. Hanya
karena masalah sepele dari kata-kata gurauan yang tidak begitu menyakitkan
sebenarnya. Gurauanku pada ibu tidak masuk diakalnya.
“Ibu
masak apa hari ini bu...” Membuka tudung saji.
“Sayur
bayam bening... memang Riki maunya apa nak?”
“Maunya
ya ayam goreng yang seperti iklan di televisi itu lah bu. Hehehe.” Aku mulai
bergurau.
“Kalau
makan sayur teruskan muak dan capek bu.” Sambungku.
“Hem...
Ibu capek lo nak. Makan apa adanya saja ya.” Balas ibu penuh kesehajaan.
“Ada
apa lagi anak yang satu ini bu? Minta apalagi dia bu?” Seketika abangku datang
dengan raut muka yang tidak bersahabat.
“Ah,
tidak ada anakku. Sudahlah, itu kan biasa. Namanya juga anak yang paling
kecil.”
“Riki
jangan terlalu dimanja bu. Minta apa kau Riki?” Suaranya keras menantang.
“Santailah
bang, tidak perlu pakai TOA juga kali bicaranya. Aku tidak ada minta apa-apa
kok” Balasku pelan.
“Oh...
kalau kau jang. Kulempar pakai gelas ini baru tau kau!” Emosinya memuncak
seperti kesurupan jin ifrit.
“Astaga...
bang, sadar dirilah bang. Dari dulu juga Aku tidak pernah minta apa-apa dari
keluarga ini. lihat diri abang itu, udah kawin pun masih saja berada di bawah
ketiak orang tua. Seharusnya abang malu. Kalau mau lempar, lemparlah.
Paling-paling masuk UGD.” Aku terpancing juga akhirnya.
“Ah...
sudah-sudah. Jangan buat penyesalan dalam hidup ibu anak-anakku! Sudah
besar-besar kalian semua. Sadar umurlah!” Ibu mencoba melerai, namun wajah si
abang semakin memerah. Mungkin sebentar lagi ekor dan tanduknya akan muncul
seketika.
“Ya
sudah ya bu... Riki main dulu. Riki juga tidak mau main-main sama anak satu
ini. Tidak berguna...” Aku mencoba menghindar dari perseteruan ini. sesaat
suasana aman, tapi...
“Sssttt...
KRAK!”
Benturan keras menghujam di
kepalaku. Aku memeriksa dengan jari yang bergetar, darah mengalir begitu
derasnya. Pandangan mulai mengabur tidak tentu arah, dan terhalangi oleh warna
putih membangkitkan kengerian di hati. Pecahan gelas tercecer mengelilingiku.
“Sssttt...
KRAK!”
Benturan kedua kali... lebih keras
dari yang pertama. Aku sudah tidak berdaya dalam pikiran yang carut marut. Aku
mendengar teriakan ibu, aku takut.. sekuat tenaga mataku mencoba untuk
mengendalikan fungsinya, walau masih terkabur dalam bayangan putih. Aku berlari
untuk mengantisipasi benturan ketiga dalam kogontaian yang teramat dalam. Sesak
di dada menuai keperihan, butiran air mata meleleh berjatuhan tidak tentu arah,
Aku tersakiti lahir batin. Dan kepalaku semakin deras mengucurkan darah, tapi Aku
tidak peduli dengan itu semua, Aku terus berlari dan berlari.
“AAAAA...!”
Kepalaku... pecahan ingatanku...
otakku! Aku... gelas... ibu...! IBU...! beranjak-anjak menjemput kekosongan
diri. Dan kembali dalam ketidakberdayaan dan ketidakwarasan.
“Ibu....
tolong ibu... pemuda ini kumat lagi penyakitnya...” Teriak gadis itu sangat
cemas. Sementara Aku dengan wajah memprihatinkan sangat sarat dengan
ketidakadilan hidup yang penuh luka derita. Erat-erat aku meremas kepala yang semakin
terasa sakit, sebentar lagi mungkin Aku akan di jemput malaikat pencabut nyawa
dikarenakan pandangan kembali memutih.
“Ibu...
pemuda ini ibu... tolong...!” gadis itu semakin resah. Namun aku memang sudah
tidak bisa menahan diri menahan kesakitan ini.
Panggilan terpenuhi, wanita tua yang
dipanggil ibu datang dengan sangat cemas. Beliau memelukku mencoba menenangkan.
Tapi Aku masih sekarat dalam kacau balaunya lalu lintas persinggahan ingatan.
Aku menahan kesakitan di tumpuan mulut yang terbungkam. Hanya bisa mengerang
dan menggeram dengan kondisi yang sangat menyiksa ini.
Pandangan meredup.. pandangan yang
memutih menjadi gelap gulita. Pikiran, ingatan hilang seketika. Jantung
berdegup lemah, nafas tersengal satu-satu, aliran darahku terasa berhenti.
Tetapi mengapa aku bisa merasakan kesakitan ini semua? Mengapa?
Aku melihat jasadku terbaring lesu.
Aku yakin itu adalah jasadku... karena pada akhirnya aku tidak mengenal diriku
sendiri. Lalu... apakah aku sudah mati?
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar