Di sudut kota Medan, dalam angan-angan dan kesendirin aku menatap
langit-langit kamar kos-kosanku yang telah meneteskan air hujan, atap
kos ini sudah lama bocor namun tidak juga diperbaiki oleh pemilik
kosnya. Padahal kami yang tinggal di sini sudah membayar kewajiban tiap
bulannya. Pandanganku merayap memenuhi hayalan masa depan yang belum
juga mendapatkan titik terang. Aku bertanya dan terus bertanya, akan
jadi apa aku di kehidupan yang akan datang. Hidup memang penuh dengan
misteri, penuh dengan rintangan, sedikit pun manusia tidak bisa
menebak, bahkan ramalan pun kadang sering meleset.
Sementara di sisi lain, hujan semakin deras, langit semakin menggelap.
Tatapanku berakhir pada sebuah kehampaan yang membuatku semakin lemah
pada kenyataan. Yah, aku jadi teringat, minggu lalu aku dipanggil oleh
ketua jurusan bahasa Daerah tempatku kuliah. Aku mendapat peringatan
keras bahwa aku harus menyelesaikan skripsiku di semester depan. Jika
aku tidak juga bisa menyelesaikannya, maka aku harus angkat kaki dari
kampus itu. mendengar hal itu, aku hanya bisa menelan ludah dan meratapi
nasib.
Pandanganku lantas melukis wajah kedua orang
tuaku yang juga menunggu kabar yang tidak pasti dariku. Hingga akhirnya
aku menyadari, bahwa diriku telah tertekan dari segala arah, dan aku
hanya bisa diam dan pasrah dengan keadaan. Sejenak aku memejamkan mata
berharap rasa sesak ini memudar sampai diri ini kembali siap menghadapi
kenyataan. Sampai aku kembali bangkit melawan derasnya arus kehidupan
yang seolah-olah semakin mengejek dan menantang.
Lalu
aku berpikir, kenapa semakin di penghujung tahun hidupku semakin
terpuruk? Apalagi, Desember semakin menciptakan keadaan yang memilukan
melalui awan kelabu dan rintikan hujan yang setiap hari menyirami bumi.
Hawanya membekukan hati, melenakan setiap indera hingga kemalasan
menyertai diri.
Tililit... tililit. Tililit... tililit... tililit tililit...
Ponselku
berbunyi, pesan baru tertera di layarnya yang usang. Tanganku mencoba
meraihnya, rasa penasaran mencuat hebat di benakku.
“Selamat siang Dafa... apa kabarnya? Oia, malam tahun baru ada rencana mau ke mana?”
Hm,
ternyata Reza, sahabat senasib yang selalu setia dalam suka dan duka.
Dalam keadaan seperti ini dia masih sanggup memikirkan perayaan tahun
baru. Yang benar saja, memikirkan makan saja susah, konon ingin
hura-hura.
“Siang juga Za... Aku baik, tidak ada rencana ke mana-mana, lagi sekarat.” Balasku.
“haha...
kau ini ada-ada saja. Aku tau maksudmu sekarat itu apa. Tapi kan,
malam tahun baru itu tidak mesti menghambur-hamburkan uang, kita juga
bisa menikmati suasana dan sensasinya melalui hal lain Fa.” Pesannya lagi.
“ada
atau tidak adanya aku di perayaan tahun baru itu, semua masih tetap
berjalan Za. Esoknya, tetap saja tanggal satu kan? Dan aku, masih banyak
hal yang harus di kerjakan Za. Lagipula aku tidak tahu bagaimana
caranya merayakan tahun baru. Aku minta maaf ya Za, aku tidak bisa. Aku
harus kerja.” Balasku lagi.
Setelah pesan terakhirku itu,
ponselku tidak berbunyi lagi. Yah, apalah gunanya aku merayakan tahun
baru, sementara batinku masih memikul beban yang sangat berat. Keperihan
ini akan senantiasa membayangiku, sampai aku benar-benar lelah
bertarung dengan keadaan. Sampai aku benar-benar mengibarkan bendera
putih pada kehidupan. Sampai aku benar-benar menyerah dan mati.
****
Setiap manusia pasti mempunyai impian, mempunyai keinginan dan
mempunyai hasrat. Namun aku adalah manusia malang yang sulit meraih
hasrat itu. hasratku di akhir tahun sama seperti mereka, berlibur
bersantai ria sambil menikmati kopi di depan TV, bermain bersama kerabat
sanak saudara dan keluarga atau berlibur ke tempat-tempat wisata untuk
menghilangkan rasa jenuh yang selama ini membebani. Tapi aku tidak
seberuntung mereka, aku masih harus terus berjuang dan bekerja. Berjuang
demi menyambung kehidupan yang semakin lama semakin sekarat, bekerja
mengumpulkan rupiah demi mengurangi beban kehidupan yang menumpuk. Andai
saja aku memiliki waktu seperti mereka, andai saja aku memiliki
kelebihan seperti mereka, andai saja aku punya harta yang melimpah, aku
tidak akan menyia-nyiakan itu semua, aku tidak akan pernah mengeluh
dengan itu semua, aku akan senantiasa memanfaatkannya hingga akhir
hidupku. Tetapi, hidup harus memandang kenyataan dan tidak bisa
berandai-andai.
Besok adalah hari selasa terakhir di
tahun ini. Tahun demi tahun telah ku jalani dengan penuh kesabaran. Tapi
peringkat kehidupan tidak juga berubah, apa yang salah pada diriku
sebenarnya? Mereka bekerja kerasa, aku juga bkerja keras, mereka bangun
pagi, aku juga. Namun kenapa mereka ada waktu santai tetapi aku tidak?
Hujan kembali menyapa mesra, tatapan kosong kemarin kembali menggoda.
Ah, aku mencoba tidak menghiraukannya tapi tetap saja aku terjebak dan
lamunan yang tiada berkesudahan. Aku kembali bekerja, di warung
sederhana pinggir jalan yang tidak bermerk dan lisensi, menyiapkan menu
dan bahan makanan dan minuman untuk disajikan kepada pelanggan.
Secercah harapan masih terus mewarnai di jiwaku. Aku tidak boleh
berputus asa, perjuangan tidak selesai hanya sampai di sini. Jika aku
menyerah, maka habislah sudah...
Warung ini mulai
disesaki pengunjung. Kembali bekerja! Pasangan suami istri, pasangan
remaja, bahkan keluarga besar tidak jarang berkunjung di warung renta
ini. Aku sendiri tidak tahu kenapa, mungkin cita rasa masakan di warung
ini begitu menggoda pelanggan untuk datang kembali ke warung ini.
Kadang aku kewalahan melayani pesanan mereka. Apalagi,
karyawan-karyawan lainnya mengambil cuti kerja, maka aku harus
menyiapkan tenaga ekstra demi kepuasan pelanggan. Karena itu adalah
visi misi dari warung sederhana ini, pelayanan adalah hal yang paling
diutamakan. Hingga malam larut dan para pelanggan pulang, barulah tubuh
ini terasa remuk dan lelah. Kadang aku teringat puisi Chairil Anwar
yang berkata “Aku ingin tidur seribu tahun lagi!” begitu kalau tidak
salah, kalau ternyata salah, mungkin karena aku lelah. Maklumi sajalah.
Waktu istirahat sangatlah singkat, kadang aku mendapatkannya sekitar
satu jam, paling puas sekitar tiga jam, itupun masih harus terganggu
dengan mimpi-mimpi buruk yang tidak diinginkan. belum lagi masalah
skripsi yang menjadi momok yang sangat menakutkan. Membujuk-bujuk dosen
supaya bisa menandatangani berkas-berkas, mencari dosen ke sana ke
mari hanya karena tiga huruf ACC! Beruntung jika dosennya dalam keadaan
baik, kalau dosen sedang dalam keadaan sensitif, pikun atau sedang
dalam keadaan menstruasi, maka aku harus siap-siap mengeluarkan senjata
pamungkas, yaitu berkunjung ke rumahnya di lengkapi dengan sebungkus
martabak bangka, sekotak bika ambon dan sekotak bolu meranti.
Bayangkan, untuk membeli itu semua, aku harus menahan jatah makan.
Kalau normalnya harus makan tiga kali sehari, maka aku hanya bisa makan
satu kali dalam sehari. Tuhan, apakah hidup ini telalu sulit untuk di
jalani. Aku malah ingin tidak dilahirkan daripada menanggung derita
yang tidak berkesudahan. Tolonglah aku Tuhan... lihat dan pandanglah
aku walau sebentar saja, ku mohon.
****
Hari
Selasa terakhir! Yah, syukuri sajalah. Walau masih banyak masalah di
sana sini, walau dunia sudah hampir kiamat terasa, walau atap kos masih
bocor, walau hanya bisa makan sekali dalam sehari, walau banyak
walau-walau lainnya. Mudah-mudahan, ini adalah hari keberuntungan
bagiku. Hingga aku tidak lagi merasakan pahitnya dunia ini, hingga aku
tidak lagi banyak melamun dan mengeluh pada keadaan. dan mudah-mudahan
ini juga hari terakhir aku bekerja keras.
“Hari terakhir, kerja
yang semangat ya nak walau karyawan bapak yang lain pada libur, kaulah
satu-satunya harapan bapak malam ini. Untuk membantumu, bapak sediakan
kawan untuk bekerja. Tetap semangat ya nak, bapak akan menemanimu malam
ini sampai warung tutup!” Pemilik warung menyemangati.
“Sip
pak... semua perintah bapak akan saya laksanakan dengan baik!” Aku
bergegas melayani pelanggan yang mulai berdatangan dibantu dengan
pelayan honorer yang mengajukan diri siang tadi.
Wah,
kali ini mungkin aku bisa kehabisan tenaga dan pingsan di tempat.
Bagaimana tidak, pelanggan membeludak! Pelanggan yang datang hampir
tidak bisa di layani. Namun ini adalah sebuah kesempatan yang mungkin
tidak akan terulang lagi. Maka aku dengan sekuat tenaga melayani para
pelanggan itu. Aku tidak menyangka, warung tenda pinggir jalan di
antara gedung besar ini, begitu banyak pelanggan di malam tahun baru
seperti ini. Semakin lama semakin padat, hingga akhirnya bahan makanan
dan minuman habis terjual. Pelanggan banyak yang kecewa dan
meninggalkan warung, tapi ada juga yang tetap di tempat bercanda ria di
sela-sela hiruk pikuknya orang-orang yang hilir mudik.
“Nak,
piring-piring sudah menumpuk tuh, cepat dicuci ya. Setelah itu kita
beres-deres. Biar kita cepat pulang” Perintah bapak pemilik warung.
“Siap dilaksanakan pak.” Cekatan.
Maka
tanpa basa-basi aku langsung melaksanakan perintahnya itu. menuju ke
tempat pencucian dengan sisa-sisa tenaga terakhir yang kumiliki Ramuan
pencuci piring anti lengket telah berbuih di tempat, dengan cekatan aku
mencuci piring demi piring yang telah menumpuk, dibantu dengan pekerja
honorer yang mencuci panci, penggorengan dan dandang. Maka pekerjaan
ini agak terasa ringan, tidak seberat yang kubayangkan.
Tibalah saatnya mencuci piring yang terakhir, senyum kemenangan mulai
tersungging di bibirku. Tiba-tiba suara hitungan mundur para pelanggan
warung membahana. Dan tiba-tiba listrik padam, seluruh kota menjadi
gelap gulita. Tidak ada penerangan sedikit pun yang menyala.
Bintang-bintang bermunculan di langit, menunjukkan kilauan cahaya
indahnya. Aku kebingungan karena posisi piring terakhir masih dalam
keadaan berbusa. Aku meraba-raba dan ku temukan apa yang kumaksud, yaitu
tuas pet. Aku langsung menyalakan pet dan membilas piring terkhir itu.
Suara para pelanggan semakin histeris pada hitungan mendekati
terakhir.
“LIMA... EMPAT... TIGA... DUA... SA...!”
Aku
bingung dan heran, sebenarnya apa yang mereka lakukan dengan keadaan
gelap gulita seperti ini? Aku tersentak, mereka kembali berteriak.
“HAPPY NEW YEAR!” Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Sumpah aku sangat terkejut dengan keadaan ini.
WAH...
bunga-bunga api meledak di atas langit! Di antara bintang-bintang yang
kemilau cahayanya! Di antara gedung-gedung pencakar langit! Di antara
sesak macetnya kendaraan yang berhenti sejenak hanya untuk menyaksikan
pemandangan satu tahun sekali ini. Terompet-terompet berbunyi di sana
sini. WAH, aku seperti anak autis yang baru menyadari bahwa inilah yang
dinamakan perayaan tahun baru. Dan aku dengan bodohnya kenapa baru
sekarang menyadarinya. Oh, ternyata ini yang tidak kudapati di desa
ketika malam tahun baru, selama ini aku hanya menikmatinya dalam
kesunyian. Aduh... sayang sekali! Lihatlah bunga-bunga api itu, penuh
dengan warna dan kejutan. Membuat semangat hidup kembali menyala! Entah
kenapa, kelelahanku hari ini seperti hilang begitu saja. Seperti
memberi kekuatan ekstra pada tubuhku yang telah diselimuti kelelahan.
Ini karena apa ya?
“Selamat tahun baru ya nak, haha... ini gajimu
bulan ini, semoga tahun depan kau menjadi orang yang lebih beruntung.”
Pemilik warung menyelipkan amplop di saku celanaku. Kemudian memeluk
dan menepuk-nepuk bahuku dengan sangat mesra. Sementara aku masih saja
terpaku, terpesona menikmati kesan terindah tahun baru pertama di kota
Medan. Meski sudah lama tinggal di kota ini, tapi ini adalah pertama
kalinya aku menikmatinya. Sungguh luar biasa, penuh kejutan!
“Bang,
aku pamit dulu ya bang...” Pelayan honorer undur diri dengan senyuman
merekah karena beliau juga menerima gaji dari pemilik warung.
“iya, hati-hati ya...” Aku masih saja tidak menghiraukan keadaan. Dasar udik!
Bunga-bunga api semakin berkurang frekuensi letusannya, kemudian
semakin lama semakin menghilang, dan para pelanggan satu persatu
meninggalkan warung. Saatnya menutup warung. Kemudian entah kenapa
keadaan menjadi begitu sepi. Begitu pula di jalanan, bermacam ragam
kendaraan yang tadinya memadati jalan raya, satu persatu menghilang
entah kemana, dan akhirnya kota ini benar-benar sepi. Semakin dramatisir
ketika hujan perlahan-lahan turun menyentuh permukaan tanah. Yah,
hujan yang telat mencapai target di akhir tahun, pikirku.
Di tahun baru ini, aku sangat berharap, mudah-mudahan di kehidupan ke
depan aku bisa lebih baik dari tahun sebelumnya. Segala kesusahan,
mudah-mudahan dengan mudah aku bisa mengatasinya. Beban yang begitu
banyak, akan ku coba untuk mengatasinya satu persatu. Dan aku berjanji,
apa pun yang akan terjadi aku tidak akan pernah mengeluh lagi.
Sampailah aku di kamar kos yang telah tergenang air karena atap yang
bocor masih belum di perbaiki. Dengan penuh kesabaran aku menguras dan
mengepel lantai kosku. Hingga benar-benar kering, barulah aku bisa
membentangkan kasur dan merebahkan tubuh yang telah lama merindukan
istirahat. Betapa istirahat itu adalah hal yang sangat istimewa bagiku
kawan. Betapa liburan itu adalah surga bagiku. Dan betapa indahnya
sebuah kemerdekaan hidup menikmati itu semua. Inilah hal yang sangat
langkah bagiku.
Ketika aku dalam posisi telungkup, ada
yang mengganjal di saku celanaku. Oh, iya... aku ingat itu adalah
amlop yang berisi gajiku bulan ini. Tapi, kenapa lebih tebal dari yang
biasanya? Apakah bapak pemilik warung itu memasukkan banyak uang
pecahan, sehingga amplop ini begitu tebal? Untuk menjawab rasa
penasaranku ini, langsung saja aku buka amplop ini. WAH... WAH... kenapa
susah sekali membuka amplop yang sangat tebal ini. Aku jadi tidak
sabar membukanya, langsung saja ku sobek dengan beringas dan
akhirnya... WAH! kali ini aku tidak main-main, puluhan wajah presiden
Soekarno dan wakilnya tersusun rapi, seolah-olah memberi salam dan
tersenyum manis kepadaku. Seolah-olah presiden pertama itu berkata
padaku. “kaulah salah satu pemuda yang saya harapkan waktu itu.” itu
kalau kau pernah mendengar beliau dengan lantang berkata “beri aku
sepuluh pemuda, maka akan aku goncang dunia!” tapi kalau anda belum
pernah mendengarnya, barusan saja anda telah mendengarnya.
Ternyata dugaanku salah, amplop ini tebal bukan karena banyaknya uang
pecahan, tapi karena uang kertas merah jambu ini memang telah membuat
sesak amplop ini. Tapi, apakah bapak itu tidak salah memberi amplop?
Aku jadi ragu kalau ini bukanlah hakku. Hal ini menciptakan banyak
praduga. Mungkin saja ini adalah amplop untuk kepentingan lain, amplop
gajiku masih bersamanya.
Waktu sudah menunjukkan
pukul 03.00 dini hari, tidak mungkin aku lancang mempertanyakan gajiku
ini kepada bapak pemilik warung itu. aku harus bagaimana ya? Dalam
keadaan berpikir seperti ini tentu saja membuatku tidak bisa tidur.
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul, mengganggu pikiranku, menciptakan rasa
penasaran yang semakin besar. Yah... akhirnya aku menyerah, tunggu
besok pagi sajalah.
****
Maret 2014, artinya tiga bulan setelah perayaan tahun baru waktu itu.
Uang gaji yang kusangka bukan milikku, ternyata adalah hakku
sepenuhnya. Ternyata, bapak pemilik warung sudah lama mengamatiku,
memperhatikan kerja kerasku selama bekerja di warungnya. Beliau sangat
peduli pada orang-orang yang mencintai pekerjaannya, peduli terhadap
orang-orang yang mampu kerja di bawah tekanan, peduli kepada orang-orang
yang sabar dalam menggapai impian, peduli kepada orang-orang yang
pekerja keras sepertiku. Aku sangat terharu dan salut, ternyata masih
ada manusia yang berhati malaikat seperti beliau. Di dunia ini, sangat
langkah orang yang berhati mulia seperti beliau.
Uang
gaji itu, beliau dedikasikan sepenuhnya atas kerja kerasku selama ini.
Beliau berpesan, “jika hidup ingin berubah dan menjadi manusia yang
bijaksana, cobalah jadi pengusaha dan berdaganglah. Karena dengan
berdagang atau membuka usaha, engkau akan banyak mempelajari tentang
filsafat hidup. Engkau akan banyak menemukan hukum-hukum baru yang tidak
pernah tertulis. Engkau akan mempelajari banyak hakikat tentang apa
yang dirasakan hati. Engkau akan terus berproses dan berproses untuk
menjadi lebih baik. Berdagang akan menjadikanmu manusia pintar dan
bijaksana.” Setelah mendengar itu, hatiku mulai terbuka dan tertantang
untuk menjadi pengusaha dan berdagang. Aku langsung menjabat tangannya
dan memeluknya. Bayangkan, betapa beruntungnya aku bertemu dengan orang
yang ikhlas memberikan ilmu kehidupan kepadaku.
Sekarang kehidupanku sudah mulai meningkat. Setelah sekian lama
bertarung dengan nasib, akhirnya aku mendapatkan podium kemenangan. Uang
gaji malam tahun baru waktu itu sangat membantuku hingga menciptakanku
menjadi pengusaha yang cukup berprestasi. Aku mulai membuka cabang
warung yang kemarin aku tempati. Bekerja sama dengan bapak pemilik
warung, bahu membahu dalam meningkatkan dunia perwarungan di Indonesia.
Sampai saat ini semua berjalan dengan lancar, omzet bulan terakhir
cukup-cukup untuk membayar tagihan listrik dan air rumah kontrakanku
yang baru.
Selain itu, aku juga mendapatkan sesuatu
yang sangat aku impikan selama ini, ini mengenai studiku yang kemarin
sudah berada diujung tanduk. Nah, sekarang aku sudah tidak mendapatkan
peringatan-peringatan lagi, karena aku telah berhasil melampauinya
dengan penuh kesabaran. Dalam setiap prosesnya, aku benar-benar
menjalani dan menikmatinya secara seksama. Sampai pada pemberitahuan
itu, aku masih bisa bersyukur kepada yang mahakuasa karena masih bisa
tegar dan bahagia saat palu diketuk dan dinyatakan bahwa aku DROP OUT,
aku tidak bisa berkata apa-apa kecuali hanya bisa merekahkan senyum
terindah di atas pendidikanku yang telah ku bina dan ternyata hancur
hari ini juga. Kedua orang tuaku telah mendengar kabar spaktakuler ini,
aku yakin mereka pasti hanya bisa mengelus dada dan pasrah pada
keadaan. Tapi aku telah menyiapkan sejuta alasan mengapa aku bisa
mengalami nasib seperti itu, hingga akhirnya mereka menerimaku kembali
sebagai anaknya yang terhebat.
Aku tidak akan pernah
menyerah pada keadaan sulit yang kadang melilit dan parasit. Aku tidak
akan berputus asa, mungkin kali ini aku tidak beruntung karena gagal
menggapai cita-cita yang selama ini kugantungkan di atas langit bersama
bintang-bintang. Mungkin saat ini aku belum bisa meraih gelar. Tapi
tunggu suatu saat nanti, aku akan mengguncang dunia seperti kata
presiden pertama kita. Tahun baru telah menciptakan semangat-semangat
baru bagiku. Hingga aku percaya dan yakin, bahwa usaha yang kujalani
saat ini berpeluang menuju kesuksesan yang akan kembali merebut
cita-cita yang telah tergadai dengan keadaan di masa lalu.
“Parman!” Memanggil karyawan baruku.
“saya pak.” Lumayan cekatan orangnya.
“cepat
bergegas, pelanggan telah datang dan layani mereka dengan baik. Saya
tidak ingin mendengar kekecewaan pelanggan” Perintahku bijak.
“siap pak, segera saya laksanakan pak.”
“Tongat!”
“Siap perintah pak.” Orang yang tangguh dari tanah Karo.
“siap-siap
menunggu pesanan makanan, pastikan cita rasa masakan kita dapat
dikenang sampai mereka pulang. Sampai saat ini, warung kita adalah
warung yang cukup disegani di wilayah ini masalah cita rasa. Terus
pertahankan prestasi ini Tongat!” Memberi semangat pada sang koki.
“baik pak, akan selalu saya pertahankan cita rasa masakan kita pak!”
“bagus-bagus.”
“Ucok!”
“apa itu pak?” Mahasiswa Fakultas Sastra.
“siap-siap
juga ya. Pastikan minuman yang kau ciptakan terasa segar ditenggorokan
mereka. Tapi, jangan coba-coba menggunakan pemanis buatan, dan jangan
terlalu banyak gula. Pastikan minuman yang kau ciptakan terasa alami
adanya.” Menepuk-nepuk bahunya dengan ramah.
“oke pak, sudah pastilah itu.” Ucok sangat bersemangat.
“kalian semua siap!” membakar semangat karyawan-karyawanku.
“siap!” jawab mereka serentak. Kali ini akulah bosnya. Haha...
Warung telah siap. Semua telah tersusun rapi di tempatnya.
Ajaran-ajaran bapak pemilik warung itu tidak akan pernah aku lupakan.
Dan beliau akan selalu menjadi guru terbaik di dalam kehidupanku.
Pelanggan datang satu persatu, duduk manis membaca menu warung baruku
yang telah berdiri tiga bulan yang lalu. Aku jadi terkenang, tahun lalu
aku yang bekerja seperti mereka, meninggalkan kuliah demi mencari
rupiah. Betap itu pilihan yang berat, haru memilih salah satu di
antaranya. Itu artinya, untuk menjadi profesional harus fokus pada satu
pilihan, dan harus siap dengan segala resiko atas pilihan itu.
Tahun-tahun yang lalu, adalah tahun di mana aku masih menyemai dan
menanam benih. Dan akhirnya di tahun ini aku mulai memanen hasil kerja
kerasku selama ini. Inilah hasil kesusahanku selama ini. Sekarang,
saatnya duduk santai memonton karyawan bekerja, sekarang aku memiliki
waktu luang mereka, sekarang aku mempunyai waktu yang panjang untuk
liburan. Sekarang, aku bisa pergi ke tempat-tempat wisata yang ku
inginkan. Dan jika ku mau, aku akan kembali kuliah, menebus kembali
kekecewaan ayah dan bunda. Melihat parman mencuci piring, jadi teringat
malam pertama melihat pemandangan tahun baru di kota Medan ini, akankah
ada rezeki tidak terduga setelah menyuci piring terakhir di tahun baru
yang akan datang? Haha..
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar