Rabu, 22 Januari 2014

Malam Tahun Baru-Cerpen

Di sudut kota Medan, dalam angan-angan dan kesendirin aku menatap langit-langit kamar kos-kosanku yang telah meneteskan air hujan, atap kos ini sudah lama bocor namun tidak juga diperbaiki oleh pemilik kosnya. Padahal kami yang tinggal di sini sudah membayar kewajiban tiap bulannya. Pandanganku merayap memenuhi hayalan masa depan yang belum juga mendapatkan titik terang. Aku bertanya dan terus bertanya, akan jadi apa aku di kehidupan yang akan datang. Hidup memang penuh dengan misteri, penuh dengan rintangan, sedikit pun manusia tidak bisa menebak, bahkan ramalan pun kadang sering meleset.
            Sementara di sisi lain, hujan semakin deras, langit semakin menggelap. Tatapanku berakhir pada sebuah kehampaan yang membuatku semakin lemah pada kenyataan. Yah, aku jadi teringat, minggu lalu aku dipanggil oleh ketua jurusan bahasa Daerah tempatku kuliah. Aku mendapat peringatan keras bahwa aku harus menyelesaikan skripsiku di semester depan. Jika aku tidak juga bisa menyelesaikannya, maka aku harus angkat kaki dari kampus itu. mendengar hal itu, aku hanya bisa menelan ludah dan meratapi nasib.
            Pandanganku lantas melukis wajah kedua orang tuaku yang juga menunggu kabar yang tidak pasti dariku. Hingga akhirnya aku menyadari, bahwa diriku telah tertekan dari segala arah, dan aku hanya bisa diam dan pasrah dengan keadaan. Sejenak aku memejamkan mata berharap rasa sesak ini memudar sampai diri ini kembali siap menghadapi kenyataan. Sampai aku kembali bangkit melawan derasnya arus kehidupan yang seolah-olah semakin mengejek dan  menantang.
            Lalu aku berpikir, kenapa semakin di penghujung tahun hidupku semakin terpuruk? Apalagi, Desember semakin menciptakan keadaan yang memilukan melalui awan kelabu dan rintikan hujan yang setiap hari menyirami bumi. Hawanya membekukan hati, melenakan setiap indera hingga kemalasan menyertai diri.
Tililit... tililit. Tililit... tililit... tililit tililit...
Ponselku berbunyi, pesan baru tertera di layarnya yang usang. Tanganku mencoba meraihnya, rasa penasaran mencuat hebat di benakku.
“Selamat siang Dafa... apa kabarnya? Oia, malam tahun baru ada rencana mau ke mana?”
Hm, ternyata Reza, sahabat senasib yang selalu setia dalam suka dan duka. Dalam keadaan seperti ini dia masih sanggup memikirkan perayaan tahun baru. Yang benar saja, memikirkan makan saja susah, konon ingin hura-hura.
Siang juga Za... Aku baik, tidak ada rencana ke mana-mana, lagi sekarat.” Balasku.
“haha... kau ini ada-ada saja. Aku tau maksudmu sekarat itu apa. Tapi kan, malam tahun baru itu tidak mesti menghambur-hamburkan uang, kita juga bisa menikmati suasana dan sensasinya melalui hal lain Fa.” Pesannya lagi.
“ada atau tidak adanya aku di perayaan tahun baru itu, semua masih tetap berjalan Za. Esoknya, tetap saja tanggal satu kan? Dan aku, masih banyak hal yang harus di kerjakan Za. Lagipula aku tidak tahu bagaimana caranya merayakan tahun baru. Aku minta maaf  ya Za, aku tidak bisa. Aku harus kerja.” Balasku lagi.
Setelah pesan terakhirku itu, ponselku tidak berbunyi lagi. Yah, apalah gunanya aku merayakan tahun baru, sementara batinku masih memikul beban yang sangat berat. Keperihan ini akan senantiasa membayangiku, sampai aku benar-benar lelah bertarung dengan keadaan. Sampai aku benar-benar mengibarkan bendera putih pada kehidupan. Sampai aku benar-benar menyerah dan mati.
****
            Setiap manusia pasti mempunyai impian, mempunyai keinginan dan mempunyai hasrat. Namun aku adalah manusia malang yang sulit meraih hasrat itu. hasratku di akhir tahun sama seperti mereka, berlibur bersantai ria sambil menikmati kopi di depan TV, bermain bersama kerabat sanak saudara dan keluarga atau berlibur ke tempat-tempat wisata untuk menghilangkan rasa jenuh yang selama ini membebani. Tapi aku tidak seberuntung mereka, aku masih harus terus berjuang dan bekerja. Berjuang demi menyambung kehidupan yang semakin lama semakin sekarat, bekerja mengumpulkan rupiah demi mengurangi beban kehidupan yang menumpuk. Andai saja aku memiliki waktu seperti mereka, andai saja aku memiliki kelebihan seperti mereka, andai saja aku punya harta yang melimpah, aku tidak akan menyia-nyiakan itu semua, aku tidak akan pernah mengeluh dengan itu semua, aku akan senantiasa memanfaatkannya hingga akhir hidupku. Tetapi, hidup harus memandang kenyataan dan tidak bisa berandai-andai.
            Besok adalah hari selasa terakhir di tahun ini. Tahun demi tahun telah ku jalani dengan penuh kesabaran. Tapi peringkat kehidupan tidak juga berubah, apa yang salah pada diriku sebenarnya? Mereka bekerja kerasa, aku juga bkerja keras, mereka bangun pagi, aku juga. Namun kenapa mereka ada waktu santai tetapi aku tidak? Hujan kembali menyapa mesra, tatapan kosong kemarin kembali menggoda. Ah, aku mencoba tidak menghiraukannya tapi tetap saja aku terjebak dan lamunan yang tiada berkesudahan. Aku kembali bekerja, di warung sederhana pinggir jalan yang tidak bermerk dan lisensi, menyiapkan menu dan bahan makanan dan minuman untuk disajikan kepada pelanggan. Secercah harapan masih terus mewarnai di jiwaku. Aku tidak boleh berputus asa, perjuangan tidak selesai hanya sampai di sini. Jika aku menyerah, maka habislah sudah...
            Warung ini mulai disesaki pengunjung. Kembali bekerja! Pasangan suami istri, pasangan remaja, bahkan keluarga besar tidak jarang berkunjung di warung renta ini. Aku sendiri tidak tahu kenapa, mungkin cita rasa masakan di warung ini begitu menggoda pelanggan untuk datang kembali ke warung ini. Kadang aku kewalahan melayani pesanan mereka. Apalagi, karyawan-karyawan lainnya mengambil cuti kerja, maka aku harus menyiapkan tenaga ekstra demi kepuasan pelanggan. Karena itu adalah visi misi dari warung sederhana ini, pelayanan adalah hal yang paling diutamakan. Hingga malam larut dan para pelanggan pulang, barulah tubuh ini terasa remuk dan lelah. Kadang aku teringat puisi Chairil Anwar yang berkata “Aku ingin tidur seribu tahun lagi!” begitu kalau tidak salah, kalau ternyata salah, mungkin karena aku lelah. Maklumi sajalah.
            Waktu istirahat sangatlah singkat, kadang aku mendapatkannya sekitar satu jam, paling puas sekitar tiga jam, itupun masih harus terganggu dengan mimpi-mimpi buruk yang tidak diinginkan. belum lagi masalah skripsi yang menjadi momok yang sangat menakutkan. Membujuk-bujuk dosen supaya bisa menandatangani berkas-berkas, mencari dosen ke sana ke mari hanya karena tiga huruf ACC! Beruntung jika dosennya dalam keadaan baik, kalau dosen sedang dalam keadaan sensitif, pikun atau sedang dalam keadaan menstruasi, maka aku harus siap-siap mengeluarkan senjata pamungkas, yaitu berkunjung ke rumahnya di lengkapi dengan sebungkus martabak bangka, sekotak bika ambon dan sekotak bolu meranti. Bayangkan, untuk membeli itu semua, aku harus menahan jatah makan. Kalau normalnya harus makan tiga kali sehari, maka aku hanya bisa makan satu kali dalam sehari. Tuhan, apakah hidup ini telalu sulit untuk di jalani. Aku malah ingin tidak dilahirkan daripada menanggung derita yang tidak berkesudahan. Tolonglah aku Tuhan... lihat dan pandanglah aku walau sebentar saja, ku mohon.
****
            Hari Selasa terakhir! Yah, syukuri sajalah. Walau masih banyak masalah di sana sini, walau dunia sudah hampir kiamat terasa, walau atap kos masih bocor, walau hanya bisa makan sekali dalam sehari, walau banyak walau-walau lainnya. Mudah-mudahan, ini adalah hari keberuntungan bagiku. Hingga aku tidak lagi merasakan pahitnya dunia ini, hingga aku tidak lagi banyak melamun dan mengeluh pada keadaan. dan mudah-mudahan ini juga hari terakhir aku bekerja keras.
“Hari terakhir, kerja yang semangat ya nak walau karyawan bapak yang lain pada libur, kaulah satu-satunya harapan bapak malam ini. Untuk membantumu, bapak sediakan kawan untuk bekerja. Tetap semangat ya nak, bapak akan menemanimu malam ini sampai warung tutup!” Pemilik warung menyemangati.
“Sip pak... semua perintah bapak akan saya laksanakan dengan baik!” Aku bergegas melayani pelanggan yang mulai berdatangan dibantu dengan pelayan honorer yang mengajukan diri siang tadi.
            Wah, kali ini mungkin aku bisa kehabisan tenaga dan pingsan di tempat. Bagaimana tidak, pelanggan membeludak! Pelanggan yang datang hampir tidak bisa di layani. Namun ini adalah sebuah kesempatan yang mungkin tidak akan terulang lagi. Maka aku dengan sekuat tenaga melayani para pelanggan itu. Aku tidak menyangka, warung tenda pinggir jalan di antara gedung besar ini, begitu banyak pelanggan di malam tahun baru seperti ini. Semakin lama semakin padat, hingga akhirnya bahan makanan dan minuman habis terjual. Pelanggan banyak yang kecewa dan meninggalkan warung, tapi ada juga yang tetap di tempat bercanda ria di sela-sela hiruk pikuknya orang-orang yang hilir mudik.
“Nak, piring-piring sudah menumpuk tuh, cepat dicuci ya. Setelah itu kita beres-deres. Biar kita cepat pulang” Perintah bapak pemilik warung.
“Siap dilaksanakan pak.” Cekatan.
Maka tanpa basa-basi aku langsung melaksanakan perintahnya itu. menuju ke tempat pencucian dengan sisa-sisa tenaga terakhir yang kumiliki Ramuan pencuci piring anti lengket telah berbuih di tempat, dengan cekatan aku mencuci piring demi piring yang telah menumpuk, dibantu dengan pekerja honorer yang mencuci panci, penggorengan dan dandang. Maka pekerjaan ini agak terasa ringan, tidak seberat yang kubayangkan.
            Tibalah saatnya mencuci piring yang terakhir, senyum kemenangan mulai tersungging di bibirku. Tiba-tiba suara hitungan mundur para pelanggan warung membahana. Dan tiba-tiba listrik padam, seluruh kota menjadi gelap gulita. Tidak ada penerangan sedikit pun yang menyala. Bintang-bintang bermunculan di langit, menunjukkan kilauan cahaya indahnya. Aku kebingungan karena posisi piring terakhir masih dalam keadaan berbusa. Aku meraba-raba dan ku temukan apa yang kumaksud, yaitu tuas pet. Aku langsung menyalakan pet dan membilas piring terkhir itu. Suara para pelanggan semakin histeris pada hitungan mendekati terakhir.
“LIMA... EMPAT... TIGA... DUA... SA...!”
Aku bingung dan heran, sebenarnya apa yang mereka lakukan dengan keadaan gelap gulita seperti ini? Aku tersentak, mereka kembali berteriak.
“HAPPY NEW YEAR!” Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Sumpah aku sangat terkejut dengan keadaan ini.
WAH... bunga-bunga api meledak di atas langit! Di antara bintang-bintang yang kemilau cahayanya! Di antara gedung-gedung pencakar langit! Di antara sesak macetnya kendaraan yang berhenti sejenak hanya untuk menyaksikan pemandangan satu tahun sekali ini. Terompet-terompet berbunyi di sana sini. WAH, aku seperti anak autis yang baru menyadari bahwa inilah yang dinamakan perayaan tahun baru. Dan aku dengan bodohnya kenapa baru sekarang menyadarinya. Oh, ternyata ini yang tidak kudapati di desa ketika malam tahun baru, selama ini aku hanya menikmatinya dalam kesunyian. Aduh... sayang sekali! Lihatlah bunga-bunga api itu, penuh dengan warna dan kejutan. Membuat semangat hidup kembali menyala! Entah kenapa, kelelahanku hari ini seperti hilang begitu saja. Seperti memberi kekuatan ekstra pada tubuhku yang telah diselimuti kelelahan. Ini karena apa ya?
“Selamat tahun baru ya nak, haha... ini gajimu bulan ini, semoga tahun depan kau menjadi orang yang lebih beruntung.” Pemilik warung menyelipkan amplop di saku celanaku. Kemudian memeluk dan menepuk-nepuk bahuku dengan sangat mesra. Sementara aku masih saja terpaku, terpesona menikmati kesan terindah tahun baru pertama di kota Medan. Meski sudah lama tinggal di kota ini, tapi ini adalah pertama kalinya aku menikmatinya. Sungguh luar biasa, penuh kejutan!
“Bang, aku pamit dulu ya bang...” Pelayan honorer undur diri dengan senyuman merekah karena beliau juga menerima gaji dari pemilik warung.
“iya, hati-hati ya...” Aku masih saja tidak menghiraukan keadaan. Dasar udik!
            Bunga-bunga api semakin berkurang frekuensi letusannya, kemudian semakin lama semakin menghilang, dan para pelanggan satu persatu meninggalkan warung. Saatnya menutup warung. Kemudian entah kenapa keadaan menjadi begitu sepi. Begitu pula di jalanan, bermacam ragam kendaraan yang tadinya memadati jalan raya, satu persatu menghilang entah kemana, dan akhirnya kota ini benar-benar sepi. Semakin dramatisir ketika hujan perlahan-lahan turun menyentuh permukaan tanah. Yah, hujan yang telat mencapai target di akhir tahun, pikirku.
            Di tahun baru ini, aku sangat berharap, mudah-mudahan di kehidupan ke depan aku bisa lebih baik dari tahun sebelumnya. Segala kesusahan, mudah-mudahan dengan mudah aku bisa mengatasinya. Beban yang begitu banyak, akan ku coba untuk mengatasinya satu persatu. Dan aku berjanji, apa pun yang akan terjadi aku tidak akan pernah mengeluh lagi.
            Sampailah aku di kamar kos yang telah tergenang air karena atap yang bocor masih belum di perbaiki. Dengan penuh kesabaran aku menguras dan mengepel lantai kosku. Hingga benar-benar kering, barulah aku bisa membentangkan kasur dan merebahkan tubuh yang telah lama merindukan istirahat. Betapa istirahat itu adalah hal yang sangat istimewa bagiku kawan. Betapa liburan itu adalah surga bagiku. Dan betapa indahnya sebuah kemerdekaan hidup menikmati itu semua. Inilah hal yang sangat langkah bagiku.
            Ketika aku dalam posisi telungkup, ada yang mengganjal di saku celanaku. Oh, iya... aku ingat itu adalah amlop yang berisi gajiku bulan ini. Tapi, kenapa lebih tebal dari yang biasanya? Apakah bapak pemilik warung itu memasukkan banyak uang pecahan, sehingga amplop ini begitu tebal? Untuk menjawab rasa penasaranku ini, langsung saja aku buka amplop ini. WAH... WAH... kenapa susah sekali membuka amplop yang sangat tebal ini. Aku jadi tidak sabar membukanya, langsung saja ku sobek dengan beringas dan akhirnya... WAH! kali ini aku tidak main-main, puluhan wajah presiden Soekarno dan wakilnya tersusun rapi, seolah-olah memberi salam dan tersenyum manis kepadaku. Seolah-olah presiden pertama  itu berkata padaku. “kaulah salah satu pemuda yang saya harapkan waktu itu.” itu kalau kau pernah mendengar beliau dengan lantang berkata “beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku goncang dunia!” tapi kalau anda belum pernah mendengarnya, barusan saja anda telah mendengarnya.
            Ternyata dugaanku salah, amplop ini tebal bukan karena banyaknya uang pecahan, tapi karena uang kertas merah jambu ini memang telah membuat sesak amplop ini. Tapi, apakah bapak itu tidak salah memberi amplop? Aku jadi ragu kalau ini bukanlah hakku. Hal ini menciptakan banyak praduga. Mungkin saja ini adalah amplop untuk kepentingan lain, amplop gajiku masih bersamanya.
            Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari, tidak mungkin aku lancang mempertanyakan gajiku ini kepada bapak pemilik warung itu. aku harus bagaimana ya? Dalam keadaan berpikir seperti ini tentu saja membuatku tidak bisa tidur. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul, mengganggu pikiranku, menciptakan rasa penasaran yang semakin besar. Yah... akhirnya aku menyerah, tunggu besok pagi sajalah.
****
Maret 2014, artinya tiga bulan setelah perayaan tahun baru waktu itu.
            Uang gaji yang kusangka bukan milikku, ternyata adalah hakku sepenuhnya. Ternyata, bapak pemilik warung sudah lama mengamatiku, memperhatikan kerja kerasku selama bekerja di warungnya. Beliau sangat peduli pada orang-orang yang mencintai pekerjaannya, peduli terhadap orang-orang yang mampu kerja di bawah tekanan, peduli kepada orang-orang yang sabar dalam menggapai impian, peduli kepada orang-orang yang pekerja keras sepertiku. Aku sangat terharu dan salut, ternyata masih ada manusia yang berhati malaikat seperti beliau. Di dunia ini, sangat langkah orang yang berhati mulia seperti beliau.
            Uang gaji itu, beliau dedikasikan sepenuhnya atas kerja kerasku selama ini. Beliau berpesan, “jika hidup ingin berubah dan menjadi manusia yang bijaksana, cobalah jadi pengusaha dan berdaganglah. Karena dengan berdagang atau membuka usaha, engkau akan banyak mempelajari tentang filsafat hidup. Engkau akan banyak menemukan hukum-hukum baru yang tidak pernah tertulis. Engkau akan mempelajari banyak hakikat tentang apa yang dirasakan hati. Engkau akan terus berproses dan berproses untuk menjadi lebih baik. Berdagang akan menjadikanmu manusia pintar dan bijaksana.” Setelah mendengar itu, hatiku mulai terbuka dan tertantang untuk menjadi pengusaha dan berdagang. Aku langsung menjabat tangannya dan memeluknya. Bayangkan, betapa beruntungnya aku bertemu dengan orang yang ikhlas memberikan ilmu kehidupan kepadaku.
            Sekarang kehidupanku sudah mulai meningkat. Setelah sekian lama bertarung dengan nasib, akhirnya aku mendapatkan podium kemenangan. Uang gaji malam tahun baru waktu itu sangat membantuku hingga menciptakanku menjadi pengusaha yang cukup berprestasi. Aku mulai membuka cabang warung yang kemarin aku tempati. Bekerja sama dengan bapak pemilik warung, bahu membahu dalam meningkatkan dunia perwarungan di Indonesia. Sampai saat ini semua berjalan dengan lancar, omzet bulan terakhir cukup-cukup untuk membayar tagihan listrik dan air rumah kontrakanku yang baru.
            Selain itu, aku juga mendapatkan sesuatu yang sangat aku impikan selama ini, ini mengenai studiku yang kemarin sudah berada diujung tanduk. Nah, sekarang aku sudah tidak mendapatkan peringatan-peringatan lagi, karena aku telah berhasil melampauinya dengan penuh kesabaran. Dalam setiap prosesnya, aku benar-benar menjalani dan menikmatinya secara seksama. Sampai pada pemberitahuan itu, aku masih bisa bersyukur kepada yang mahakuasa karena masih bisa tegar dan bahagia saat palu diketuk dan dinyatakan bahwa aku DROP OUT, aku tidak bisa berkata apa-apa kecuali hanya bisa merekahkan senyum terindah di atas pendidikanku yang telah ku bina dan ternyata hancur hari ini juga. Kedua orang tuaku telah mendengar kabar spaktakuler ini, aku yakin mereka pasti hanya bisa mengelus dada dan pasrah pada keadaan. Tapi aku telah menyiapkan sejuta alasan mengapa aku bisa mengalami nasib seperti itu, hingga akhirnya mereka menerimaku kembali sebagai anaknya yang terhebat.
            Aku tidak akan pernah menyerah pada keadaan sulit yang kadang melilit dan parasit. Aku tidak akan berputus asa, mungkin kali ini aku tidak beruntung karena gagal menggapai cita-cita yang selama ini kugantungkan di atas langit bersama bintang-bintang. Mungkin saat ini aku belum bisa meraih gelar. Tapi tunggu suatu saat nanti, aku akan mengguncang dunia seperti kata presiden pertama kita. Tahun baru telah menciptakan semangat-semangat baru bagiku. Hingga aku percaya dan yakin, bahwa usaha yang kujalani saat ini berpeluang menuju kesuksesan yang akan kembali merebut cita-cita yang telah tergadai dengan keadaan di masa lalu.
“Parman!” Memanggil karyawan baruku.
“saya pak.” Lumayan cekatan orangnya.
“cepat bergegas, pelanggan telah datang dan layani mereka dengan baik. Saya tidak ingin mendengar kekecewaan pelanggan” Perintahku bijak.
“siap pak, segera saya laksanakan pak.”
“Tongat!”
“Siap perintah pak.” Orang yang tangguh dari tanah Karo.
“siap-siap menunggu pesanan makanan, pastikan cita rasa masakan kita dapat dikenang sampai mereka pulang. Sampai saat ini, warung kita adalah warung yang cukup disegani di wilayah ini masalah cita rasa. Terus pertahankan prestasi ini Tongat!” Memberi semangat pada sang koki.
“baik pak, akan selalu saya pertahankan cita rasa masakan kita pak!”
“bagus-bagus.”
“Ucok!”
“apa itu pak?” Mahasiswa Fakultas Sastra.
“siap-siap juga ya. Pastikan minuman yang kau ciptakan terasa segar ditenggorokan mereka. Tapi, jangan coba-coba menggunakan pemanis buatan, dan jangan terlalu banyak gula. Pastikan minuman yang kau ciptakan terasa alami adanya.” Menepuk-nepuk bahunya dengan ramah.
“oke pak, sudah pastilah itu.” Ucok sangat bersemangat.
“kalian semua siap!” membakar semangat karyawan-karyawanku.
“siap!” jawab mereka serentak. Kali ini akulah bosnya. Haha...
            Warung telah siap. Semua telah tersusun rapi di tempatnya. Ajaran-ajaran bapak pemilik warung itu tidak akan pernah aku lupakan. Dan beliau akan selalu menjadi guru terbaik di dalam kehidupanku.
            Pelanggan datang satu persatu, duduk manis membaca menu warung baruku yang telah berdiri tiga bulan yang lalu. Aku jadi terkenang, tahun lalu aku yang bekerja seperti mereka, meninggalkan kuliah demi mencari rupiah. Betap itu pilihan yang berat, haru memilih salah satu di antaranya. Itu artinya, untuk menjadi profesional harus fokus pada satu pilihan, dan harus siap dengan segala resiko atas pilihan itu. Tahun-tahun yang lalu, adalah tahun di mana aku masih menyemai dan menanam benih. Dan akhirnya di tahun ini aku mulai memanen hasil kerja kerasku selama ini. Inilah hasil kesusahanku selama ini. Sekarang, saatnya duduk santai memonton karyawan bekerja, sekarang aku memiliki waktu luang mereka, sekarang aku mempunyai waktu yang panjang untuk liburan. Sekarang, aku bisa pergi ke tempat-tempat wisata yang ku inginkan. Dan jika ku mau, aku akan kembali kuliah, menebus kembali kekecewaan ayah dan bunda. Melihat parman mencuci piring, jadi teringat malam pertama melihat pemandangan tahun baru di kota Medan ini, akankah ada rezeki tidak terduga setelah menyuci piring terakhir di tahun baru yang akan datang? Haha..
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar